Refleksi Dua Dekade Demokrasi Indonesia Era Reformasi

Materi diskusi hari riset ini disajikan oleh Prof. Valinka Singka Subekti dalam rangka Dies Natalis FISIP ke-52. Membangun kultur demokrasi di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, dihadapkan pada berbagai tantangan. Sikap demokratis, yakni watak yang mengapresiasi perbedaan atau lebih mengedepankan prinsip inklusivitas, seolah semakin menguap.

Perbedaan masih juga seringkali memicu, bahkan dijadikan pemicu terjadinya gesekan sosial, bahkan konflik. Berbagai kasus gesekan/konflik pada pilkada dan pemilu serentak, terjadinya sejumlah kekerasan komunal di sejumlah wilayah, maraknya hoax di media sosial, dll, dapat menjadi cermin sejauh mana keberhasilan demokrasi di Indonesia.

Kondisi ini tentu semakin memprihatinkan, karena kelas menengah justru diharapkan bukan hanya mampu menjadi agen pendorong kultur demokrasi, tetapi bagi sebagian kalangan juga diharapkan mampu menjadi penggerak demokrasi sosial. Pada dasarnya keberhasilan demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada mampu menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh atau sebanyak mungkin rakyat.

Prof Valina menjelaskan, UUD 1945 memiliki kelemahan mendasar sehingga menjadi sumber lahirnya pemerintah otoriter pada masa Soekarno dan Soeharto, seperti executive heavy, checks and balances lemah serta perlindungan HAM terbatas. Oleh karena itu diperlukan pengaturan ulang distribusi kekuasaan dalam cabang-cabang kekuasaan trias politika dengan pendekatan separation of powers.

Hasil amandemen UUD 1945 yaitu, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara setara kedudukannya, kedudukan eksekutif (presiden) kuat terhadap legislatif (DPR) dan kedudukan legislatif juga kuat terhadap eksekutif dan mereka tidak dapat saling menjatuhkan, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah dipilih langsung oleh rakyat, dapat diberhentikan melalui mekanisme impeachment, mempertegas mekanisme checks and balances antar lembaga negara termasuk kekuasaan membentuk UU di DPR, namun pada pihak lain presiden dapat mengajukan RUU dan setiap RUU dibahas bersama presiden dan DPR.

Dengan distribusi kekuasaan yang demikian diharapkan dapat mempertegas karakteristik sistem pemerintah presidensial. Pemilihan presidensialisme bertujuan menghadirkan stabilitas pemerintah dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan dalam situasi dunia yang semakin mengglobal dan kompetitif. Pilihan ini merupakan cita-cita pendiri negara mengenai perlunya menghadirkan pemerintahan kuat pasca Indonesia merdeka.

Sistem demokrasi perwakilan dalam sistem pemerintahan presidensial memerlukan kehadiran sistem pemilu yang kompatibel, wakil rakyat yang jujur dan amanah, pers yang independen dan masyarakat sipil yang kuat. Sistem pemilu memberi dampak positif apabila rakyat memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Rekomendasi dari hasil riset ini adalah mengevaluasi penyelengaraan pilkada langsung (2005-2020) agar pilkada mampu menghasilkan kepala daerah yang berintergritas dan berkualitas sehingga dapat mempercepat kemakmuran daerah dan kemakmuran Indonesia. Serta dapat memperkuat fungski legislasi DPD dalam rangka checks and balances intra parlemen, memperkuat otonomi daerah. Membangun budaya politik demokrasi, nilai-nilai demokrasi harus menjadi dasar sikap dan perilaku elite dan masyarakat luas.

Related Posts

Hubungi Kami

Kampus UI Depok
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba
Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia

E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 315 6941, 390 4722

Waktu Layanan

Administrasi dan Fasilitas
Hari : Senin- Jumat
Waktu : 08:30 - 16:00 WIB (UTC+7)
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB (UTC+7)

Catatan:
*) Layanan tutup pada hari libur nasional, cuti bersama, atau bila terdapat kegiatan internal.
Skip to content