Nuruddin Lazuardi menjadi Doktor dari Kriminologi ke-37 dengan predikat cumlaude, ia sah mendapatkan gelar Doktor setelah melakukan promosi doktor pada Senin (17/7) di Auditorium Juwono Sudarsono dengan judul disertasi “Abuse of Media Power dalam Praktik News Trading Pada Media Arus Utama di Indonesia”.
Sebagai ketua sidang, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Promotor, Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D., dan kopromotor Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si. serta dewan penguji Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., Dr. Bagus Sudarmanto, M.Si., Dr. Eriyanto, M.Si., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., dan Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A.
Praktik jual beli berita atau news trading di Indonesia tidak saja terjadi di tingkat reporter, tetapi telah menjelma menjadi perilaku korporasi media. Fenomena ini dilatari kepentingan internal maupun eksternal media melalui pendekatan hegemoni dan oligarki. Akibatnya konten yang diproduksi cenderung mengabaikan norma media dan mengorbankan hak publik atas informasi yang benar.
Nuruddin menjelaskan, dengan metode kualitatif disertai pengolahan data menggunakan software NVivo, penelitian mendapati adanya motif, pola, modus, tujuan, dan keuntungan dalam praktik news trading di media korporasi di Indonesia. “Temuan ini menunjukkan adanya tindakan abuse of media power di dalam struktur organisasi media korporasi di Indonesia yang merupakan perilaku corporate misconduct. Dalam perspektif criminology media merujuk konsep criminogenic media, konstruksi konten news trading yang dikategorikan sebagai suap itu berpotensi mengakibatkan social harms,” jelasnya.
“Profesionalisme dan integritas jurnalis Indonesia tergadaikan dalam praktik-praktik news trading atau jual beli berita. Peran dan fungsi media sebagai sumber informasi publik menjadi terabaikan,” ujar Nuruddin.
Terdapat tiga permasalahan sebagai kesimpulan, pertama, praktik news trading adalah praktik suap atau gratifikasi. Praktik news trading terjadi karena adanya campur tangan kepentingan individu dan kelompok, baik internal maupun eksternal, yang dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai etik dan norma media.
Kedua, sebagai sebuah lembaga korporasi yang diberi kepercayaan oleh negara dan masyarakat, media yang melakukan praktik news trading membuktikan tak saja telah melakukan penyimpangan atas kewajibannya dalam menjaga harmonisasi masyarakat, tetapi juga merupakan bentuk abuse of media power. Penyalahgunaan kekuasaan oleh media korporasi ini dapat dikategorikan sebagai corporate misconduct.
Ketiga, media yang mengonstruksi konten news trading yang merupakan abuse of media power, dalam sudut pandang criminogenic media berpotensi mengakibatkan terjadinya moral panic, segregation, dan berujung social harms. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku corporate misconduct oleh media dalam konteks penelitian ini adalah sebuah kejahatan.
“Pada akhirnya saya menyarankan perlunya aktualisasi kebijakan etik dan hukum media, serta mendorong pengawasan media korporasi oleh publik, agar dapat menjawab dinamika perubahan pada lanskap media menuju keadaan yang lebih baik. Dari segi akademis Nuruddin menyarankan penelitian lanjutan untuk lebih mendalami dampak langsung atau tidak langsung sebagai akibat adanya praktik corporate misconduct terhadap kerusakan sosial secara kausalitas. Terutama dalam kaitan keberadaan publik sebagai prosumen di era media baru,” tutup Nuruddin.