Pilih Laman

Pernikahan tradisional Jawa merupakan hal yang masih sangat relevan hingga masa kini, meskipun tidak lagi ramai peminatnya seperti pada masa lampau. Pernikahan merupakan bagian dari warisan budaya berlandaskan sistem sosial, yang merujuk pada terjadinya pembentukan kebiasaan tertentu. Dalam persiapan perkawinan Jawa, relasi yang utama bertumpu pada Ibu dan anak perempuan, relasi tersebut berakibat pada atau bersifat konfliktual dalam proses persiapan perhelatan, karena baik Ibu dan anak perempuannya mewakili dua generasi yang berbeda.

Sidang Promosi Doktor Departemen Ilmu Komunikasi, Bhernadetta Pravita Wahyuningtyas dilaksanakan pada Rabu (4/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Akomodasi Komunikasi Dalam Keluarga Sebagai Penyesuaian Nilai-Nilai Budaya Antargenerasi (Suatu Studi pada Perhelatan Pernikahan Tradisional cara Solo dan Yogyakarta)”.

Sidang terbuka doktoral ini di ketuai oleh Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, Prof. Dr. Drs. Fredy Buhama Lumban Tobing, M.Si, sebagai Promotor Dr. Donna Asteria, M. Hum., Kopromotor Dr. Sunarto, M,Si., serta para dewan penguji Prof. Alois A. Nugroho, Ph.D., Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A., Dr. Nina Mutmainah Armando, M.Si., Endah Triastuti, M.A., Ph.D., Dr. Riris Loisa, M.Si., Ph.D., dan Dr. Indah Santi Pratidina, M.Si.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana akomodasi komunikasi terlaksana dalam persiapan pernikahan tersebut, serta mengidentifikasi dan menganalisis landasan proses akomodasi komunikasi yang terdapat atau beserta di dalamnya. Untuk mengakomodasi kesenjangan generasi, fokus komunikasi pada pola konvergensi dalam perilaku komunikasi. Paradigma post-positivis digunakan untuk menggambarkan fenomena pada keluarga Jawa dalam menerap upacara pernikahan adat sebagai warisan di antara keluarga mereka. Metode kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data dengan observasi partisipan dengan purposive sampling.

Temuan studi ini menunjukkan adanya dua lapisan untuk menjelaskan proses Akomodasi Komunikasi tersebut, pada lapisan pertama Akomodasi Komunikasi yang berlangsung menghasilkan konvergensi yang dapat menyelesaikan masalah antar generasi dan menjadikannya sebagai interaksi yang harmonis, sementara pada lapisan kedua, ditemukan bahwa yang menjadi landasan dari akomodasi komunikasi adalah sistem sosial yang menghasilkan pemahaman yang berbeda pada masing-masing pihak, dalam hal ini Ibu dan anak perempuan. Pemahaman tersebut menghadirkan dua hal; pertama: Pernikahan merupakan bagian dari sosialisasi baik bagi Ibu maupun anak perempuan yang selaras. Kedua: Perbedaan yang muncul lebih merujuk pada aspek teknis. Aspek teknis inilah yang menggambarkan perbedaan antar generasi dalam pemaknaan Ibu dan anak perempuan tentang segala hal yang terkait dengan perhelatan pernikahan tradisional.

Ditemukan pula dua pola konvergensi dari akomodasi komunikasi antara pasangan Ibu dan anak Perempuan. Pola pertama adalah sang anak mengikuti dan menyesuaikan dengan keinginan, sedangkan pola kedua adalah Ibu menyesuaikan diri dan mengikuti kemauan anak. Dalam kedua pola tersebut muncul berbagai konflik yang mewarnai proses akomodasi antara keduanya.

Dari penelitian ini diketahui bahwa pola konvergensi juga ditentukan oleh posisi anak dalam keluarga, yang melakukan konvergensi pada orang tua adalah anak kedua dari dua bersaudara dan anak pertamanya adalah laki-laki, sementara pola yang kedua yaitu yang melakukan konvergensi pada anak, anaknya merupakan anak perempuan pertama dalam keluarga tersebut.

Akomodasi komunikasi terjadi karena bagaimanapun ada satu landasan dan basis yang dipahami oleh kedua belah pihak. Akomodasi komunikasi yang dilakukan memiliki makna penghormatan, menegakkan harmoni, menjaga kerukunan, memahami tata krama dan tidak konfrontatif. Peka terhadap perasaan, kepantasan dan rasa sungkan, serta berhitung atas siapa saja yang sudah berjasa dalam hidupnya. Meskipun patriarkis, orang Jawa meletakkan ibu sebagai sosok penting atau sebagai posisi sentral dalam keluarga, menjadi sosk yang dimuliakan. Maka, dalam konteks pernikahan, ayah atau bapak tidak banyak dilibatkan dalam diskusi dan tarik-menarik akomodasi.