UI Open Days adalah acara yang diadakan oleh Universitas Indonesia (UI) untuk memperkenalkan fakultas-fakultas yang ada di kampus UI kepada calon mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam acara ini, calon mahasiswa dapat mendapatkan semua informasi tentang program studi, fasilitas kampus, biaya kuliah, beasiswa, serta kesempatan lain yang ditawarkan oleh UI.
Acara ini merupakan acara yang bertujuan untuk memberikan informasi terkait program pendidikan yang ada di UI dengan menghadirkan 14 fakultas, 1 program pendidikan vokasi serta 2 sekolah interdisiplin.
FISIP menjadi salah satu fakultas yang membuka booth dalam UI Open Days tahun ini di Balairung dan Balai Sidang UI (untuk kelas khusus internasional) selama dua hari mulai Sabtu (27/05) sampai Minggu (28/05) dan menjadi yang pertama dilakukan secara tatap muka sejak pandemi covid-19.
Revera Novita merupakan siswa dari SMAN 1 Pekalongan mengatakan bahwa ia datang jauh dari Jawa Tengah hanya untuk bisa menghadiri UI Open Days khususnya bertanya mengenai FISIP UI, “aku mau masuk Kriminologi makanya aku cari-cari info yang akurat disini, aku sangat antusias dan senang banget bisa datang ke booth FISIP UI apalagi langsung bertanya ke kakak mahasiswa Kriminologi nya langsung mengenai perkuliahan di FISIP, ” ujar Revera.
Selain membuka booth, FISIP UI diberikan kesempatan pertama untuk presentasi mengenai fakultas, program studi, jalur masuk serta biaya. Presentasi tersebut dilakukan oleh Dwi Ardhanariswari Sundrijo, Ph.D. (Sekretaris Fakultas & Plt. Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum). Ada sekitar kurang lebih 400 orang yang datang dan bertanya ke booth FISIP UI, diterima oleh Humas FISIP serta perwakilan mahasiswa dari setiap departemen.
Komunitas Tari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (KTF UI) Radha Sarisha akan mengikuti Festival Du Sud di Prancis dan Spanyol pada Juli-Agustus 2023 mendatang. Festival Du Sud merupakan salah satu festival seni budaya paling penting di Eropa yang menampilkan 1.200 penari dan musisi dari 18 negara, serta ditonton oleh lebih dari 50.000 orang.
“Selama proses latihan misi budaya, aku belajar bahwa menari bukan hanya tentang berusaha memenuhi keharusan-keharusan untuk menjadi penari yang sempurna di atas panggung, tetapi juga tentang mengasihi, ikhlas, dan bebas,” ujar Narita, anggota kontingen Misi Budaya Komunitas Tari FISIP UI ke Eropa.
KTF telah dipercaya untuk menjadi delegasi Indonesia untuk International Folklore Festival sejak tahun 2011, tahun ini KTF UI “Radha Sarisha” diundang kembali untuk membuktikan lagi keindahan tari dan musik tradisional Indonesia pada acara seni terbesar di dunia yang diselenggarakan di Eropa.
Komunitas Tari FISIP Universitas Indonesia “Radha Sarisha” (KTF UI) adalah sebuah komunitas yang lahir atas dasar kecintaan anak muda dalam pelestarian budaya negerinya. Didirikan sejak Juli 2008, anggota yang tergabung selalu berupaya untuk membuat prestasi baik di dalam maupun luar negeri.
Adapun misi budaya yang akan diikuti sejumlah 32 mahasiswa FISIP UI ini akan membawakan musik dan tari kreasi dari berbagai daerah di Indonesia, yaitu karya-karya dari Imam Firmansyah dan Jamilah Siregar, di antaranya Tari Kembang Molek dari Betawi, Tari Enggang Lato dari Kalimantan, dan Tari Zapin Kasmaran dari Melayu.
Menurut Project Officer Edina Rafi Zamira, misi budaya ini bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Indonesia dan mempromosikan pariwisata Indonesia melalui pertukaran budaya dan menampilkan kesenian tradisional kepada komunitas seni budaya internasional. Sebelumnya, KTF UI telah berhasil melaksanakan sembilan misi budaya ke 14 negara dan lebih dari 30 festival.
Dekan FISIP UI Prof Dr Semiarto Aji Purwanto menyampaikan dukungannya untuk kesuksesan program misi budaya. Prof Aji juga berharap bahwa misi budaya ke Festival Du Sud dapat memperkenalkan kebudayaan dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang lebih luas melalui tari tradisional yang akan ditampilkan.
Harapan Prof Aji tersebut diamini oleh kontingen misi budaya. Bagi Narita, proses latihan rutin yang sudah dijalankannya selama tujuh bulan terakhir menunjukan bahwa menari bukan hanya sekadar menggerakan tubuh, tetapi sebuah proses pembelajaran tentang hidup yang bermakna.
Bagi Narita dan banyak anggota kontingen misi budaya lainnya, menari mengajarkan mereka pentingnya kebersamaan, kepedulian, dan ketekunan. Sebelum berangkat, KTF FISIP UI akan mengadakan penampilan Gelar Pamit untuk menyampaikan apresiasinya kepada delegasi, donor, institusi, serta pihak lain yang telah mendukung misi budaya pada 30 Mei 2023 di Gedung Kesenian Jakarta. Gelar Pamit akan menampilkan pertunjukan yang setelahnya akan ditampilkan di Festival Du Sud dalam bentuk penampilan seni teatrikal.
Untuk informasi lebih lanjut ataupun dukungan bagi misi budaya KTF UI 2023 ke Festival Du Sud, pembaca dapat mengunjungi laman Instagram @ktfui
Kegiatan Tinjau Buku dan Film Dokumenter “Wulla Poddu: Ritual Marapu di Kampung Tarung, Sumba Barat” merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh tim dari Antropologi FISIP UI. Kegiatan ini didanai oleh LPDP Rispro melalui program Dana Indonesiana, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
Ritual Wulla Poddu mencerminkan suatu tindakan kolektif untuk menafsir kehidupan dalam lingkup luas. Setiap tahun Wulla Poddu dirayakan sebagai ritual, setiap tahun itu pula orang Sumba Barat merefleksikan dirinya. Mereka menyadari setiap tahun selalu menghadirkan suatu kondisi yang belum pasti: kondisi alam pada pertanian mereka selama satu tahun ke depan.
Arief mengatakan, dalam penelitian yang kami lakukan, terdapat satu bagian penting dari ritual yang seringkali belum banyak diulas. Bagian penting tersebut adalah bagaimana ritual Wulla Poddu dimaknai sebagai rasa syukur atas hasil panen padi pada tahun sebelumnya sekaligus pengharapan hasil terbaik untuk masa tanam berikutnya, sehingga kita bisa melihat Wulla Poddu sebagai ritual yang menyatukan manusia dengan alam melalui padi.
Ritual Wulla Poddu, peryaan orang Sumba Barat di Kampung Tarung, tempat mereka menari, menari untuk merayakan keberdaan diri mereka, menari untuk mensyukuri kehidupannya, sekaligus menari untuk padi.
Wulla Poddu dipimpin oleh Rato Rummata, seorang Rato yang juga menjabat sebagai kepala suku. Dalam perjalanannya, kami bertemu dengan Thara yang merupakan keponakan dari Rato Rummata sekaligus penari dalam ritual Wulla Poddu.
Menurut Thara, Padi sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi kita harus bersyukur punya padi karena tanpa padi kita tidak bisa makan. Di Sumba itu padi sulit sekali ditemukan. Hanya beberapa orang yang bisa menghasilakn padi begitu banyak.
“Jadi itulah kepercayaan Marapu bahwa penghasilan petani selalu berada di titik tertinggi, terkhususnya kami yang berada di Kampung Tarung, kami melakukan itu karena kami bersyukur sekali karena kami bisa mendapatkan padi karena tidak semua orang bisa mendapatkan padi yang memuaskan,” ujar Thara.
Secara sederhana Wulla Poddu menjadi ritual untuk menyampaikan rasa syukur dan berkat, hal ini tercermin dalam nyayian syair adat di masa Wulla Poddu yang bercerita tentang kehidupan,
masa depan, pertobatan maupun hubungan antara sang pencipta, manusia dan alam. Selain menyampaikan rasa syukur dan berkat.
Diskusi buku dan film dilaksanakan di Auditorium Mochtar Riady pada Selasa, 23 Mei. Pameran foto diselenggarakan mulai tanggal 23 hingga 26 Mei 2023 di selasar Gedung C FISIP UI.
Dalam diskusi buku dan film, Irfan Nugraha dan M. Arief Wicaksono selaku perwakilan penulis menyampaikan hasil dan pengalaman riset. Selaku pembahas dalam kegiatan diskusi buku dan film ini adalah Imam Ardhianto (dosen Departemen Antropologi). Selain itu, sebagai pembicara juga hadir Inna Tara, seorang warga Kampung Tarung, Sumba Barat.
Imam mengatakan bahwa merekam proses tradisi ini menjadi penting untuk didokumentasikan hal tersebut direfleksikan di Kampung Tarung, selain itu juga untuk memajukan budaya dan menerjemahkan.
Kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya kajian mengenai ritual dan komunitas tradisional serta berkontribusi dalam upaya pemajuan objek pemajuan kebudayaan di Indonesia.
Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi mengunjungi Indonesia selama dua hari mulai Selasa (23/5). Tujuan kedatangan ini untuk memajukan hubungan bilateral kedua negara. Presiden Raisi didampingi Ibu Negara Jamileh Alamolhoda akan diterima oleh Presiden Joko Widodo pada hari di Istana Kepresidenan Bogor (dikutip dari tempo.co).
Kunjungan delegasi tingkat tinggi kedua negara ini bertujuan untuk pertukaran pandangan, menandatangani dokumen kerja sama dalam hal energi, produk kesehatan, pertanian, produk makanan, sains, teknologi, budaya dan bilateral.
Hubungan kedua negara ini telah terjalin sejak tahun 1950, kedua negara memiliki hubungan persahabatan terutama dalam beberapa tahun terakhir telah secara aktif memperluas hubungan dalam hal politik, ekonomi, budaya serta sektor lainnya. Seperti negara Asia, terutama negara mayoritas Muslim seperti Indonesia memiliki tempat khusus dalam strategi pengembangan kebijakan luar negeri Iran.
Agung Nurwijoyo, M.Sc (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional) dalam wawancaranya di TVRI Global, mengatakan bahwa selama periode Ebrahim Raisi, Indonesia adalah negara penting di Asia. Ia percaya pada kunjungan ini Iran memiliki pesan yang jelas yaitu untuk memperkuat hubungan kemitraan kedua negara. Kunjungan ini juga menunjukkan gestur Iran untuk membangun hubungan tidak hanya dengan Indonesia tetapi ASEAN, juga karena Indonesia adalah salah satu mitra strategis di ASEAN.
Lebih lanjut ia menjelaskan, isu Preferential Trade Agreement (PTA) adalah yang utama dari kunjungan ini dan itu didasarkan pada kebutuhan kedua negara untuk membuka pasar baru sehingga perjanjian tersebut adalah sesuatu yang dibutuhkan dari kedua negara, bahwa PTA antara Indonesia dan Iran adalah gerbang untuk mempercepat hubungan antara kedua negara.
“Ini menjadi momentum untuk meningkatkan hubungan antara dua negara tetapi bagaimanapun kita juga harus menyadari bahwa Indonesia bukanlah mitra perdagangan tradisional untuk Iran. Kedua negara telah benar-benar membangun kembali inisiatif untuk perusahaan di berbagai daerah non tradisional dan saya pikir dalam hal ini ada sesuatu yang lebih penting yaitu perjanjian PTA (Perjanjian Perdagangan Referensial) karena kedua negara membutuhkan mitra perdagangan, misalnya untuk mengekspor minyak sawit dan Iran adalah salah satu mitra potensial untuk mengekspor komoditas ini,” ujar Agung.
Masalah minyak sawit adalah sesuatu yang menarik. Seperti yang kita ketahui Indonesia menghadapi masalah dengan hukum yang membuat sulit untuk mengekspor minyak sawit ke wilayah Eropa, dalam masalah ini Indonesia siap dari Kementerian Perdagangan membuat kerjasama untuk memasuki Timur Tengah sebagai pasar bagi Indonesia untuk mengekspor minyak sawit. RI-Iran akan segera memiliki Perjanjian Tarif Preferensial dan RI-Mesir sudah menandatangani Nota Kesepahaman Pembentukan Komite Perdagangan Bersama.
“Setelah 70 tahun hubungan kedua negara terjalin, di bawah kepresidenan Raisi saya pikir Iran sudah lebih cerdas dan dinamis dalam kebijakan luar negeri nya yaitu dengan mendekati ASEAN,” ujar Agung.
Sebagai penutup Agung menjelaskan bahwa kerjasama budaya dan sosial juga merupakan sesuatu yang penting. Hubungan antara Iran dan Indonesia bukan hanya Government to Government tapi juga perlu memperbesar hubungan dalam People to People, misalnya antara ulama, karena kedua negara ini Muslim yang dominan maka penting untuk memerangi ekstremisme untuk melawan Islamofobia.
Asia Research Center (ARC UI), bekerja sama dengan Pusat Studi Politik (PUSKAPOL) FISIP UI dan melalui dukungan dari KURAWAL FOUNDATION, menyelenggarakan diskusi panel tentang ‘Politik Pemilu di Asia Tenggara’ pada Jumat (19/05) di Auditorium Juwono Sudarsono. Diskusi ini diselenggarakan sebagai bagian dari bidang penelitian FISIP UI dalam Ketahanan Demokratis. Diskusi dirancang berdasarkan tinjauan atas keadaan dan lintasan politik elektoral di negara-negara terpilih seperti Malaysia, Indonesia, Kamboja, dan Filipina.
Banyak yang telah ditulis tentang meningkatnya otoritarianisme di Asia Tenggara. Otoritarianisme tidak pernah berdiri kokoh, demokrasi di Asia Tenggara kini menghadapi kemunduran baru sehingga menunjukkan kemunduran besar.
Di Thailand, misalnya, kudeta tahun 2014 memulai periode lain pemerintahan junta. Di Filipina, presiden Rodrigo Duterte telah merusak peradilan dan menindak oposisi politik. Sementara itu, tidak ada tanda-tanda reformasi di negara-negara paling otoriter di kawasan itu, termasuk Laos, Kamboja, Brunei dan Vietnam.
Dengan latar belakang tersebut, urgensi untuk membuka peluang untuk melakukan refleksi kritis terhadap pemilu yang lalu (Filipina dan Malaysia) dan yang akan datang (Thailand, Kamboja, Indonesia) di kawasan Asia Tenggara.
Dalam sambutan pembukaan, Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengatakan, “saya mengatakan diskusi ini bukan hanya untuk formalitas atau basa basi, ini memang peristiwa yang tepat waktu karena kita semua mengalami stagnasi demokrasi dan banyak negara sedang atau akan segera melakukan pemilihan mereka. Kita dapat melihat apa yang mendorong kemunduran demokrasi ini dan bagaimana kita dapat membalikkannya. Stagnasi di Indonesia dan di seluruh kawasan. Saya berharap ini akan memicu kerjasama internasional dalam isu demokratisasi.”
“Kita bisa sepakat bahwa untuk hari ini, tidak hanya ada stagnasi demokratisasi tetapi juga reka ulangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat keberhasilan pemberontakan dan runtuhnya rezim otoriter,” ujar Hurriyah.
Lebih lanjut Hurriyah mengatakan bahwa Indonesia sebagai pendatang akhir di tahun 1998. Namun perjuangan tersebut memang berat dan berdarah, membutuhkan banyak biaya politik sosial dan ekonomi. Adapun dekade terakhir kita telah mengalami kemunduran demokrasi di Asia Tenggara. Asia Tenggara adalah lahan subur bagi otoritarianisme.
Ia menjelaskan, “kediktatoran komunis di Vietnam dan Laos, kediktatoran kapitalistik di Kamboja, pemerintahan satu partai di Singapura, demokrasi berbasis patronase di Indonesia dan Malaysia, kediktatoran militer di Myanmar, dan kediktatoran monarki di Thailand.”
Di Malaysia, Indonesia, Thailand, dan sebagainya, mobilisasi populisme dan politik identitas menjadi ciri utama yaitu masalah dinasti politik yang mengakar dan tindakan tehnokratis digunakan untuk membungkam suara publik dan lawan politik.
Oleh karena itu, situasi politik elektoral Asia Tenggara saat ini mungkin menunjukkan kecenderungan mendasar dari otoritarianisme yang canggih.
Adopsi demokrasi elektoral bukan karena mereka berada dalam krisis tetapi karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaan mereka bahkan ketika memungkinkan orang untuk memilih.
Menurut Prof. Maria Ela ada beberapa tantangan yang akan dihadapi seperti dominasi uang, politik keluarga dan politik patronase masih dominan, serta meningkatnya polarisasi dan proliferasi berita bohong di berbagai media, lalu adanya bahaya dari revisionisme historis dan semakin melemahnya institusi dan proses demokrasi.
“Jika kita melihat pemilu, kita harus melihat para elit dan kita perlu melihat bagaimana perilaku mereka dan berapa banyak uang yang mereka berikan kepada pejabat pilihan mereka. Untuk memahami ruang demokrasi bisa menjadi arena elit, kita harus mewaspadai siapa yang membayar dan kita membutuhkan basis lokal yang kuat untuk agenda demokrasi,” ujar Made.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Dr. Ross Tapsell (Australian National University), Sam Rainsy (Cambodia National Rescue Party), Made Supriatma (ISEAS-Yusof Ishak Institute), Prof. Maria Ela L. Atienza (University of the Philippines Diliman) dan Hurriyah (Pusat Kailan Politik UI) serta moderator Dr. Inaya Rakhmani (Director of ARC UI).
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia