


Adri Febrianto menjadi Doktor Antropologi setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Babaliak Ka Nagari: Elit Lokal, Desentralisasi dan Retradisionalisasi di Nagari Pariangan, Sumatera Barat” pada Rabu (26/7) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Sebagai ketua sidang promosi doktor, Julian Aldrin Pasha Rasjid, M.A., Ph.D. Selaku promotor, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dan kopromotor, Dr. Nur Iman Subono. Serta para dewan penguji, Prof. Dr. Lili Romli, Dr. Panji Anugrah Permana, Mas Pri, Dr. Prihandoko Sanjatmiko, M.Si., dan Dra Sri Murni, M.Kes., Ph.D.
Di Indonesia, keragaman luar biasa dari masyarakat dengan kebudayaan dan pengaruh politik lokal pedesaan yang mengakar bisa melahirkan pola kepemimpinan desa yang berbeda. Menguatnya desa sebagai komunitas hukum adat, mendorong tampilnya elit dan budaya politik lokal dalam proses-proses politik dan pembangunan yang berlangsung. Elit lokal dalam proses demokratisasi berkontribusi di dalam pembangunan, dan peluang ini melahirkan kontestasi dan meningkatkan partisipasi politik dari beberapa komponen aktor selain kepemimpinan formal dan elit lokal tradisional.
Dinamika isu yang dikontrol aktor-aktor dengan kepentingan yang berbeda memberi peluang aktor-aktor merespon berada dalam rekonstruksi situasi yang selalu berubah menghadapi kebijakan dan aturan supra desa, menghasilkan modifikasi berupa konstruksi dan rekonstruksi penafsiran agen untuk mendapatkan peluang keuntungan dalam situasi berubah atas nama pembangunan.
Penelitian ini mengungkap dan menjelaskan keterlibatan elit lokal sebagai aktor dan secara kelembagaan di dalam pembangunan di desa di Sumatera Barat belum menunjukkan esensi dari baliak ka nagari, setelah lebih dari 20 tahun otonomi daerah dan desa dilaksanakan. Proses yang tampak menunjukkan kontinuitas sekaligus diskontinuitas peran kelembagaan dari elit tradisional.
Hal ini dijelaskan dengan arena pembangunan pariwisata di Nagari Pariangan seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan sebagai nagari tuo dengan sejarahnya dan keindahan alamnya. Desentralisasi dan otonomi di Sumatera Barat tidak selalu diiringi dengan pemekaran wilayah, Nagari Pariangan sebagai hasil reunifikasi menyatukan kembali desa-desa terpisah pada masa Orde Baru menjadi satu nagari, tidak dengan alasan finansial, tetapi kebanggaan dan identitas sebagai nagari tuo.
Gairah babaliak ka nagari dengan retradisionalisasi sebagai inventing traditions tidak dengan imajinasi mengembalikan identitas lama. Posisi otoritas negara yang lebih kuat berhadapan dengan posisi adat, selayaknya memberi peluang otonomi desa dengan kekuatan perda harus bersifat adaptif dan fleksibel dengan keragaman buek yang berbeda antara satu nagari dengan lainnya.
Babaliak ka nagari sebagai proses retradisionalisasi meningkatkan proses demokratisasi dan kontribusi elit dan non elit. Retradisionalisasi membangkitkan raso (sense)sebagai budaya politik lokal dalam proses-proses politik dan pembangunan yang berlangsung. Elit lokal dalam proses demokratisasi berkontribusi di dalam komunitas nagari, meningkatkan partisipasi politik dari beberapa komponen aktor selain kepemimpinan formal dan elit lokal tradisional.
Dinamika isu dikontrol elit lokal mendapatkan peluang merespon dengan kepentingan berbeda dalam situasi yang berubah menghadapi kebijakan dan aturan supra desa, menghasilkan modifikasi berupa konstruksi dan rekonstruksi penafsiran agen untuk mendapatkan peluang keuntungan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa proses desentralisasi dan otonomi sampai ke desa di Sumatera Barat belum memberikan ruang yang cukup untuk otonomi desa yang kuat dengan adat atau kebudayaannya, karena secara adat penghulu dengan otoritas tradisional secara kelembagaan terbatas karena otoritas di atasnya. Diperlukan aturan kelembagaan desa yang fleksibel dan relevan dalam konteks adat di masing-masing nagari dengan menganalisis secara kontekstual kontinuitas perubahan yang terjadi pola kepemimpinan lokal dengan akses kultural menjadi rujukan kebijakan sebagai bentuk demokratisasi yang dipraktekkan.