Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Sosiologi dengan promovendus atas nama Nur Laila Meilani pada Rabu (21/07) secara daring melalui Zoom. Meilani menyampaikan penelitian disertasi dengan judul, “Memanggil Weber, Mereduksi Risiko Tsunami: Interelasi Birokrasi Digital, Kapital Offline, dan Kapital Digital dalam Tsunami Selat Sunda 2018”.
Sidang Promosi Doktor ini di ketuai oleh Prof. Dr. Dody Prayogo. Sebagai promotor Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto dan kopromotor Prof. Robert M.Z. Lawang. Serta tim penguji Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, Ahmad Syafiq, Ph.D., Dr. Ida Ruwaida, M.Si., Dr. Ricardi Adnan, M.Si., dan Khairul Imam, S.Sos., M.Si.
Disertasi ini memiliki dua latar belakang utama, yaitu latar belakang empiris dan konseptual. Secara empiris, tsunami Selat Sunda 2018 yang merupakan tsunami vulkanik yang sangat jarang tejadi di dunia, adalah peristiwa alam yang melibatkan aktivitas gunung Anak Krakatau dan Selat Sunda. Risiko tsunami vulkanik di Selat Sunda ini nyatanya telah beberapa kali diperingatkan oleh para ahli kegunungapian seperti Paris et.al melalui beberapa artikelnya sejak tahun 2012 hingga 2014.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method dengan tipologi partially mixed sequential equal status design, dimana pendekatan kuantitatif dan kualitatif diperlakukan dalam proporsi yang sama baik pada level pengumpulan maupun analisis data.
Meilani menjelaskan, beberapa teknik analisis diterapkan untuk menjawab pertanyaan penelitian; Social Network Analysis (SNA) dengan software Gephi. Serta Textual Network Analysis (TNA) dengan software Wordij dan Gephi, Path Analysis dengan SPSS, dan analisis kualitatif interaktif.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa social network analysis dalam penanganan Tsunami Selat Sunda 2018 didominasi oleh PMI dan relawan pada ketiga tahapan penanggulangan bencana (response, recovery, reconstruction). Aktor ACT dan BNPB juga cukup mendominasi, meskipun tidak konsisten pada ketiga tahapan tersebut. Selain itu ketiadaan peran dan fungsi dari kepala desa dalam penilaian responden sebagai representasi korban Tsunami Selat Sunda 2018. BPBD sebagai lembaga kebencanaan tingkat daerah dinilai oleh responden belum mampu menunjukkan peran dan aksi yang signifikan dalam penanggulangan tsunami Selat Sunda 2018” jelas Meilani.
Sementara itu, menurut Meilani textual network analysis pada media sosial twitter menunjukkan jaringan kata-kata yang didominasi oleh kata “korban” dan “bantuan”. Pada semua klaster yang terbentuk, menunjukkan adanya kepentingan politik dan secara tidak langsung mengindikasikan bahwa tsunami vulkanik belum dipandang sebagai sebuah risiko melainkan sebuah aksi-reaksi. Hal ini semakin menguatkan asumsi awal riset ini bahwa rapid information system pada saat, atau setelah bencana masih berhadapan dengan tantangan untuk menghasilkan informasi-informasi yang reliable dan relevan dengan peristiwa bencana tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor-aktor seperti PMI, ACT, dan NGO luar negeri dinilai sebagai powerfull, interactive, dan intermediate actors pada ketiga aspek DWB yaitu sizing up objectivity, intelligent efficiency, dan remotely rational. Hanya dalam aspek remotely rationality, BNPB—sebagai salah satu badan kebencanaan pusat—dinilai menjadi aktor yang terhubung dengan individu atau organisasi penting dan berkuasa.
Lebih lanjut, Meilani menjelaskan hasil eksplorasi kualitatif menunjukkan adanya rapid information system yang belum saling terhubung antara BMKG, PVMBG, BNPB, dan BPPT. Ketidaksesuaian struktur birokrasi kebencanaan di tingkat provinsi serta keterbatasan pengelolaan data dan informasi, oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa konfigurasi birokrasi kebencanaan Selat Sunda belum merepresentasikan birokrasi digital weberianism.
“Meskipun begitu, telah ada beberapa inisiasi di lembaga kebencanaan pusat, termasuk telah disahkannya Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami yang seharusnya menjadi semangat dan arah baru dalam mewujudkan birokrasi digital kebencanaan yang handal, responsif, dan solutif” ujar Meilani.
Implikasi Metodologis
Dalam konteks kebencanaan alam, dunia offline tetap menjadi primacy, sehingga dunia online tunduk dan bergantung kepada dunia offline. Bencana alam, termasuk tsunami vulkanik terjadi pada dunia offline, sedangkan dunia online lebih merupakan sebuah ruang atau wadah untuk menampung berbagai reaksi atas peristiwa bencana tersebut. Dalam hal ini seringkali dikaitkan dengan bagaimana pertukaran informasi dan penyebaran informasi pada saat bencana, maupun dalam hal membangun kesiapsiagaan bencana.
Implikasi Praktis untuk Pemecahan Masalah
Keberadaan ilmu pengetahuan khususnya Sosiologi (bencana) harus diarahkan pada dua hal; (a) menciptakan harmonisasi dalam masyarakat dengan melakukan transfer ilmu pengetahuan—yang terkesan rumit dan kompleks—melalui cara-cara yang sederhana dan mudah dipahami awam, dan (b) berkontribusi dalam upaya memecahkan masalah yang ditemukenali dan atau yang sudah eksis di masyarakat.
Kedua hal inilah yang menjadi panduan bagi disertasi ini untuk menuangkan dua pokok implikas praktis yaitu; (a) pentingnya new institutional arrangement kebencanaan berbasis DWB dalam bentuk formulasi Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengembangan platform khusus kebencanaan dan (b) mendesaknya aspek resiliensi,leadership, dan teknologi sebagai satu himpunan dalam mitigasi bencana.