Depok, 5 Februari 2024 – Program Studi (Prodi) Sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) meluncurkan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Kajian Etnografi untuk Pengakuan dan Penguatan Advokasi Masyarakat Adat pada Senin (5/2) di Auditorium Mochtar Riady, FISIP UI.
Dimulai sejak 2023, tahun ini merupakan tahun kedua kegiatan kolaborasi Prodi Sarjana Antropologi dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) untuk menjalankan program MBKM yang menjembatani kampus dan organisasi masyarakat sipil.
Selain acara peluncuran program tersebut, diadakan talkshow yang berjudul “Capaian, Peluang, dan Tantangan Implementasi Pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia”. Sebagai pembicara Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, M.Si (Dekan FISIP UI dan dosen Departemen Antropologi FISIP UI), Kasmita Widodo (Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat), dan Yuli Prasetyo Nugroho, S.Sos., M.Si (Kepala Subdirektorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal) serta selaku moderator Dr. phil. Imam Ardhianto (Ketua Program S1 Antropologi Sosial FISIP UI).
Masyarakat adat merupakan payung legal-formal yang sudah diakui negara untuk mendukung ragam komunitas yang mengelola ruang hidupnya dengan basis legitimasi dan praktik-praktik yang berbasis konteks lokal. Dalam Penjelasan RUU tentang Masyarakat Adat, masyarakat adat sering juga disebut bersamaan dengan nama lain, seperti masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, masyarakat pribumi, atau orang asli.
Penyebutan masyarakat adat sebagai masyarakat hukum adat menekankan peran penting dari pengaturan dan tata kelola dari masyarakat berbasis hukum adat dan berdaulat atas dasar tersebut.
“Wilayah adat itu tidak semudah yang kita bayangkan, wilayahnya sudah lintas dan terbagi dalam wilayah desa, kecamatan, kelurahan dan provinsi, hal tersebut bisa terjadi karena proses sejarah wilayah adat dan pembentukan pemekaran kabupaten maupun provinsi yang sejarah pembentukannya berbeda dari wilayah adat,” jelas Prasetyo.
Secara legal konstitusional pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat telah dinyatakan dalam batang tubuh UUD 1945 pasca amandemen, yaitu dalam pasal 18b ayat (2) yang menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut Prasetyo mengatakan, meski didukung oleh undang-undang, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dalam banyak hal masih belum melembaga secara penuh dan memiliki kekuatan hukum yang kuat di tingkat akar rumput. Hal tersebut terlihat dari banyaknya permasalahan yang dialami masyarakat adat.
Meski didukung oleh undang-undang, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dalam banyak hal masih belum melembaga secara penuh dan memilik kekuatan hukum yang kuat di tingkat akar rumput. Hal tersebut terlihat dari banyaknya permasalahan yang dialami masyarakat adat.
“Kondisi yang memungkinkan pengakuan Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adat yaitu dengan adanya aturan, regulasi dan kepemimpinan dalam penyelenggaraan pengakuan wilayah adat, kapasitas tim kerja yang memahami dan mampu menyelenggarakan pengakuan wilayah adat, lalu ketersediaan data spasial dan sosial masyarakat adat dan wilayah adat yang tervalidasi,” jelas Kasmita.
Dalam proses pemetaan, Kasmita mengatakan bahwa fasilitator bersama masyarakat adat memastikan mereka mempunyai wilayah adat dan masyarakatnya. BRWA berusaha memperkuat fakta relasi masyarakat adat dengan tanah, air, pesisir, hutan dan kekayaan alam lainnya berdasarkan sejarah asal-usul, genealogis dan teritorial.
Lebih lanjut Kasmita mengatakan, Peta Wilayah Adat menjadi data yang sangat dibutuhkan Pemerintah sebagai bahan penyusunan program dan kebijakan, serta ketersediaan peta wilayah adat perlu dikompilasi oleh walidata di level Pemerintah Pusat agar bisa dilakukan kendali mutu dari peta yang dihasilkan.
Prof. Aji mengatakan, kebudayaan adalah salah satu instrumen yang paling penting yang letaknya ada di komunitas. “Manifestasi kebudayaan misalnya hutan adat, tradisi yang lahir dan berkembang dari komunitas, lalu di sini persoalaannya adalah bagaimana Negara muncul dan ikut mengarahkan perkembangan kebudayaan, misalnya melalui teknikalisasi dan formalisasi,” ujarnya.
“Adat belum menjadi ‘adat’ kalau belum ada dokumennya, wilayah hukum adat belum resmi kalau belum ada registrasinya, belum ada petanya,” Prof. Aji menambahkan.
Di banyak kebijakan, masyarakat adat didefinisikan dalam syarat-syarat yang tidak jarang memicu perdebatan. Padahal, dalam konteks masa kini, keberadaan masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari situasi dunia kontemporer yang semakin kompleks dengan istilah adat yang terhubung erat dengan aspek-aspek non yuridis dan politis seperti identitas keagamaan, bentuk-bentuk tata ekonomi alternatif, dan sebagainya.
Diakhir acara, Dekan FISIP UI melepas mahasiswa/i dari Departemen Antropologi yang akan mengikuti program MBKM dan turun lapangan bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).