Pilih Laman

Supriyanto meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi FISIP UI pada Rabu (05/01). Supriyanto berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,72. Di hadapan para penguji Supriyanto berhasil mempertahankan disertasi nya yang berjudul “Criminaloid dan Organizational Criminogenic Elaborasi Terhadap Kasus-Kasus Kejahatan Finansial”.

Dalam disertasi nya Supriyanto menjelaskan, Lingkup kajian kejahatan kerah putih telah dimulai sejak tahun 1907 dimana fenomena orang-orang yang berupaya mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan citra diri tertentu di tengah masyarakat. Secara sederhana, kejahatan kerah putih meliputi berbagai bentuk kejahatan dengan pelaku yang memiliki status sosial dan kehormataan yang tinggi terkait dengan pekerjaannya. Kejahatan kerah putih di identifikasi menjadi kejahatan finansial, operasi bisnis, penipuan konsumen, maladministrasi dan penipuan terhadap pemerintah.

Kejahatan finansial di Indonesia sejak tahun 2014-2018 tergolong cukup dinamis dengan total 241.367 kasus. Pada tahun 2018 wilayah satuan hukum Polda Metro Jaya memiliki jumlah kasus tertinggi sebesar 5.526 kasus kejahatan finansial.

Menurut Supriyanto, dalam disertasinya dipaparkan determinan pendorong pelaku kejahatan finansial, di antaranya ialah faktor sosio-ekonomi, yang mengacu kepada nature of industry. Gambaran nature of industry di antaranya ialah menawarkan kemudahan, memberikan harga murah serta keuntungan yang berlimpah dalam waktu yang singkat; sedangkan affinity frauds, merujuk pada eksploitasi isu agama yang dapat menarik minat karakteristik masyarakat Indonesia.

“Determinan lainnya ialah karakteristik sosio-ekonomi korban di Indonesia. Serta terdapat juga kondisi penegakan hukum dan politik yang cenderung koruptif, sehingga dari sisi individu pelaku dan korporasi akan menjadikan kondisi tersebut sebagai jalan yang menetralisasi serta melegitimasi perilaku menyimpang mereka,” jelas Supriyanto.

Supriyanto berupaya mengkaji tentang aspek determinan dalam kejahatan finansial di Indonesia. ia menggunakan ilustrasi kasus First Travel dan Koperasi Simpan Pinjam Pandawa yang terjadi di Indonesia dengan total kerugian mencapai Rp 1 Triliun. Kasus tersebut telah memenuhi enam aspek criminaloid, yaitu pertama tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu seperti egoisme yang tinggi, kedua para pelakunya telah menerapkan teknik netralisasi yaitu denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility.

“Ketiga pengendalian diri yang rendah dan rasionalisasi yang tinggi terhadap kejahatan sehingga memberikan keyakinan dalam melakukan kejahatan. Keempat pengakuan palsu atas sosok yang terpengaruh budaya hedonisme dan alternative hedonism. Kelima rendahnya sensitivitas moral dan kecerdasan, dalam hal ini berkaitan dengan moral force yang terkait dengan attachment; involvement; commitment; dan belief,” tegas Supriyanto.

Supriyanto telah membuktikan bahwa criminaloid telah berkontribusi dalam kejahatan korporasi, khusus pada kejahatan finansial penggelapan. Dinamika dalam criminaloid di antaranya ketiadaan karakteristik fisik dan psikologis; keraguan dalam bertindak; mudahnya memberikan pengakuan; sensitivitas moral; kecerdasan dan status sosial serta budaya. Ia menemukan bahwa fokus dalam organizational criminogenic adalah celah dalam proses korporasi, aspek pengawasan, yang bertemu dengan dorongan motivasi keuntungan pribadi.

Dalam kasus kejahatan finansial First Travel dan Koperasi Pandawa, Supriyanto menemukan kebaruan bahwa penyebab terjadinya kejahatan, tidak ada satu determinan yang paling dominan. Namun penyebabnya justru karena aspek criminaloid dan organizational criminogenic yang berkelindan dalam satu kasus yang sama, serta kehadiran determinan lainnya yang menghubungkan criminaloid dan organizational criminogenic, sehingga menimbulkan kejahatan, yaitu aspek situational criminogenic.

“Temuan dalam disertasi ini diharapkan mampu membantu aparat penegak hukum baik kepolisian atau otoritas keuangan, tidak hanya melihat kejahatan finansial dari satu sisi saja, namun melihat dari sisi yang kompleks dalam kejahatan korporasi, sebagaimana yang menjadi hasil penelitian ini. Kemudian, pemerintah juga dapat mempertimbangkan dinamika situational criminogenic sebagai faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya kejahatan korporasi,” jelas Supriyanto.