Dinamika NGO Lingkungan Dalam Tata Kelola Hutan di Provinsi Riau

Tata kelola hutan telah menjadi isu yang kompleks dan krusial mengingat peran vitalnya dalam menjaga keseimbangan ekosistem global serta menopang kehidupan jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Upaya untuk mereformasi kebijakan dan tata kelola hutan di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan struktural dan kelembagaan.

Akses dan penggunaan sumber daya hutan diperebutkan sejumlah kelompok yang memiliki kepentingan bisnis dan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan adanya relasi kuasa diantara para aktor pembuat kebijakan kehutanan dan reformasi tata kelola.

Di tengah kompleksitas tata kelola dan tarik menarik kepentingan antar aktor, advokasi menjadi elemen yang krusial dalam mendorong perubahan. Dalam konteks ini, NGO muncul sebagai aktor kebijakan baru yang memainkan peran strategis dalam pengelolaan hutan dan lingkungan, karena mampu memengaruhi hasil-hasil politik dan ekologi di berbagai konteks.

Banyak bukti menunjukkan peran NGO mampu memengaruhi keputusan pemerintah dalam mengubah kebijakan perlindungan sumber daya alam, dan advokasi lingkungan.

Tri Samnuzulsari meneliti “Kontestasi dan Negosiasi Advokasi Lingkungan: Studi Dinamika NGO Lingkungan dalam Tata Kelola Hutan di Provinsi Riau” untuk disertasinya dan resmi mendapatkan gelar Doktor Sosiologi setelah melaksanakan promosi doktor pada Senin (30/06) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.

Studi ini secara kritis mengkaji peran dan dinamika NGO lingkungan dalam tata kelola hutan di Riau, Indonesia. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana NGO lingkungan merumuskan strategi advokasi, membentuk koalisi, dan mengekspresikan agennya dalam lanskap politik dan institusional yang kompetitif.

“Penelitian ini mengungkap bahwa organisasi non-pemerintah (NGO) lingkungan di Riau menghadapi berbagai tantangan struktural yang bersumber dari dinamika internal, termasuk kepemimpinan yang terpusat, tingginya pergantian posisi strategis, serta ketergantungan terhadap donor eksternal. Ketidakteraturan dalam suksesi kepemimpinan dan kurangnya tata kelola partisipatif melemahkan kesinambungan strategi dan kohesi organisasi,” jelas Tri.

“Selain itu, ketegangan internal juga diperkuat oleh fragmentasi identitas organisasi, dominasi elite internal, dan prioritas program yang sering kali ditentukan oleh logika pendanaan, bukan kebutuhan basis gerakan. Dalam konteks teori strategic action fields (SAF), kelemahan ini mencerminkan kurangnya “keterampilan sosial” untuk membaca arena dan memobilisasi aktor secara strategis,” lanjut Tri.

Tri menjelaskan temuan nya ini menunjukkan bahwa keberhasilan NGO tidak semata bergantung pada komitmen moral atau teknis, tetapi juga pada ketahanan kelembagaan dan kapasitas adaptif dalam mengelola sumber daya organisasi secara kolektif dan inklusif.

Lebih jauh menurut Tri, penelitian ini menekankan bagaimana NGO lingkungan di Riau secara aktif membingkai isu-isu kehutanan melalui dua pendekatan utama: bingkai ekologis dan keadilan lingkungan.

“Bingkai ekologis digunakan untuk menegaskan pentingnya hutan sebagai entitas ekosistem global yang vital, sementara bingkai keadilan digunakan untuk mengartikulasikan ketimpangan sosial yang dialami komunitas lokal akibat eksploitasi sumber daya alam. Keduanya saling melengkapi dan digunakan secara strategis untuk membangun legitimasi serta memperluas aliansi,” ujar Tri.

“Di sini, keberhasilan advokasi tidak hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi juga oleh kapasitas NGO dalam menciptakan narasi yang resonan, membangun koalisi lintas sektor, serta menjembatani antara kepentingan lokal dan wacana global. Pembingkaian yang efektif menjadi instrumen penting dalam membentuk struktur peluang politik serta memengaruhi respons petahana dan unit tata kelola,” ungkap Tri.

Temuan pada penelitian ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara aspirasi normatif NGO lingkungan dan praktik organisasi internal mereka. Tri menambahkan, meskipun kerangka ekologi dan keadilan lingkungan digunakan untuk melegitimasi upaya advokasi, narasi-narasi ini seringkali berorientasi eksternal, dibuat untuk menarik donor daripada didasarkan pada konteks komunitas lokal.

Tri menekankan bahwa penelitian ini mendesak untuk mempertimbangkan kembali peran masyarakat sipil dalam tata kelola lingkungan, bukan sebagai penyeimbang moral terhadap aktor negara dan pasar, tetapi sebagai bidang yang kompleks dan sering kali kontradiktif, dibentuk oleh kekuasaan, batasan institusional, dan ketergantungan sumber daya

“Dalam studi ini saya dapat menyimpulkan bahwa keberlanjutan dan potensi transformatif advokasi lingkungan tidak hanya bergantung pada keselarasan ideologis, tetapi pada pengembangan praktik institusional yang demokratis, adaptif, dan tangguh di dalam NGO sendiri,” jelasnya.

Related Posts

Hubungi Kami

Kampus UI Depok
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba
Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia

E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 315 6941, 390 4722

Waktu Layanan

Administrasi dan Fasilitas
Hari : Senin- Jumat
Waktu : 08:30 - 16:00 WIB (UTC+7)
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB (UTC+7)

Catatan:
*) Layanan tutup pada hari libur nasional, cuti bersama, atau bila terdapat kegiatan internal.