Pilih Laman

Departemen Kriminologi FISIP UI bekerjasama dengan Departemen Antopologi Universiteit Van Amsterdam telah melaksanakan diskusi dengan tema “Criminal Vigilantism in Indonesia” pada Selasa (14/6) secara daring melalui zoom. Diskusi ini menghadirkan narasumber Dr. L.G.H. Laurens Bakker (Dosen Departemen Antropologi, Universiteit van Amsterdam) dengan menanggap materi Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. (Dosen dan Guru Besar FISIP UI).

Vigilantisme umumya dilakukan oleh oknum atau kelompok sipil. Vigilantisme bukanlah tindakan yang dilakukan secara institusional atau berdasarkan instruksi pemegang otoritas tertentu. Elemen yang satu ini merupakan elemen paling menonjol yang ditemukan dalam hampir seluruh aksi main hakim/vigilabtisme sendiri. Tidak hanya kekerasan secara langsung atau yang menyangkut fisik. Ancaman pun termasuk dalam elemen vigilantisme.

Kelompok semacam ini telah berkembang dan terkadang mengeksploitasi etnisitas dan lokalitas sebagai pemikiran untuk menarik anggotanya. Mereka umumnya diakui sebagai badan formal dan juga dapat didefinisikan sebagai organisasi kemasyarakatan atau ormas. Mereka mengklaim diri sebagai organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk kepentingan rakyat yang meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam banyak kasus, aktivitas main hakim sendiri dikaitkan dengan kekerasan dan menimbulkan ketakutan akan kejahatan. Beberapa bukti menunjukkan bentrokan antar ormas menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.

Vigilantisme sendiri telah terjadi di banyak daerah di Indonesia dan telah dilakukan oleh berbagai kalangan dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak yang korban jiwa akibat kekerasan tersebut. Kerusakan fisik dan material juga terjadi. Kewaspadaan dan kekerasan merupakan hal yang nyata bagi Indonesia dan merupakan tantangan bagi kemajuan demokrasi negara. Akademisi harus terlibat dalam mengatasi hal ini melalui partisipasi dalam proses kebijakan dan membawa wacana konstruktif untuk memahami akar masalah.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto selaku Dekan FISIP UI mengatakan bahwa kejahatan vigilantisme di Indonesia sebenarnya nyata dan tantangan yang banyak dihadapi oleh banyak negara termasuk Indonesia, “khususnya di Indonesia bahwa kekerasan seperti ini banyak terjadi di pedasaan maupun perkotaan. Dibeberapa kasus, hal tersebut digunakan untuk menekan kelompok-kelompok tertentu terutama dalam konflik agraria di Kalimantan mengenai perampasan lahan disektor kehutanan dan juga konflik. Dalam konteks perkotaan atau urban banyak fenomena kekerasan seperti premanisme, hal itu merupakan masalah laten yang selalu terjadi. Premanisme terjadi karena permasalahan ekonomi, lapangan kerja dan juga terkait dengan identitas sosial tertentu.”

Dalam presentasinya, Bekker menjelaskan “vigilantisme di Indonesia banyak sekali hal ini terbangun dari tindakan yang memang sudah ada sebelumnya seperti premanisme dan organisasi masyarakat. Vigilantisme berkembang di Indonesia karena sudah ada sejarahnya seperti Pemuda Pancasila yang sudah lama ada pada saat order baru. Dengan reformasi, vigilantisme telah didesentralisasi, diadopsi oleh organisasi masyarakat sipil.”

Lebih lanjut ia menambahkan bahwa ada banyak organisasi masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia, organisasi ini tidak selalu buruk atau jahat, contohnya dalam masyarakat adat, adanya kelompok atau organisasi yang memberikan keamanan dan keselamatan. Organisasi masyarakat ini tidak hanya memberikan keamanan dan keselamatan tetapi ada juga yang memberikan bantuan hukum. Jadi banyak organisasi yang berdiri dengan fungsi yang berbeda-beda.

“Keberadaan main hakim sendiri atau vigilantisme di Indonesia menunjukan kolerasi negative dengan ostur negara, hal ini membuat fenomena ini menjadi kejahatan yang terorganisir. Ketika Indonesia berada dalam situasi yang agak kacau ada awal tahun 2000-an dimana masa reformasi banyak terjadi tidak kriminal main hakim sendiri sejalan dengan itu negara terkesan tidak peduli, memberi izin bahkan mendukung tindakan vigilantisme. Berbeda dengan situasi saat ini Ketika pada umumnya negara tampak peracya diri dalam mengendalikan ketertiban umum,” ujar Prof. Adrianus dalam menanggapi presentasi dari Bekker.

Di Indonesia vigilantisme berada di tengah antara pemerintah dan masyarakat, di satu sisi mereka harus setia pada negara/pemerintah tapi di sisi lain harus memberikan perlindungan sosial dan layanan kepada masyarakat.