Peran perempuan dalam politik pasca reformasi politik tahun 1998 telah menghadirkan perubahan signifikan. Kebijakan afirmasi, termasuk kuota minimal 30% bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan pencalonan anggota legislatif, telah dimplementasikan di Indonesia.
Namun, target keterwakilan perempuan dalam lembaga politik masih belum tercapai sepenuhnya. Pada Pemilu 2019, keterwakilan politik perempuan baru mencapai 20,52% di DPR-RI. Mash ada juga persoalan substantif terkait mendorong kebijakan yang berkeadilan gender dan kepentingan perempuan.
Setelah 25 tahun reformasi, terjadi kemunduran dalam kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan, seperti penghapusan syarat kuota dalam kepengurusan partai politik dan tahapan seleksi KPU. Untuk itu, Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “25 Tahun Reformasi: Quo Vadis Keterwakilan Politik Perempuan?” untuk menggambarkan potret situasi saat ini pada Selasa (20/06) secara online melalui kanal youtube Puskapol FISIP UI.
Sebagai akademisi Hurriyah mengatakan ada kemajuan dan kemunduran dalam konteks keterwakilan perempuan di politik Indonesia, “Jadi, kalau kita lihat gambaran kondisinya, satu langkah maju ke depan, dua langkah mundur ke belakang,” katanya.
“Diskusi mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia sangat terkait dengan perjalanan Indonesia melakukan reformasi politik. Dibandingkan di level ASEAN, Indonesia diurutan kelima dari sebelas negara lainnya, jumlahnya 21% ini angka di parlemen saja tapi kalau dilihat lebih jauh lagi ternyata ada kondisi yang memperlihatkan gap yang terlalu besar, Indonesia tertinggal jauh dari Kamboja dan Laos,” ujar Hurriyah.
Hurriyah menjelaskan keterwakilan perempuan di level daerah Indonesia hanya sekitar 16 persen pada 2021. Angka ini lebih kecil dibanding Laos yang mencapai 32 persen dan Vietnam dengan angka 29 persen.
“Jadi sebagai negara dengan sistem elektoral, ya sebenernya kemajuan keterwakilan politik perempuan itu tidak bagus-bagus amat, bahkan bisa dibilang jauh lebih slow dibandingkan Filipina dan Thailand. Tetapi ada kesamaan dari negara-negara ASEAN yaitu faktor kebijakan kuota ternyata berperan sangat penting dalam mendorong peningkatan ketahanan keterwakilan politik perempuan,” katanya.
Menurut Diah, sebagai politikus saya melihat bahwa di level regulasi harus dicermati sebagai komitmen terhadap pelaksaan undang-undang yang kemudian diturunkan dalam berbagai aturan.
“Saya khawatir masyarakat agak skeptis, lelah dan tidak terlalu antusias dengan narasi-narasi demokrasi, tapi lebih masuk ke dalam narasi yang praktis, politik menjadi sangat praktis yang menurut saya harus dicermati sebelum membicarakan maju mundurnya affirmative action,” ujar Diah.
Lebih lanjut Diah menjelaskan, tentang affirmative action yang menarik adalah sebuah narasi yang tidak hanya diperjuangkan tapi juga diwariskan kepada generasi baru, setiap generasi mempunyai perspektifnya dan concern masing-masing terhadap isu yang berbeda-beda. Bagaimana mentransformasikan narasi affirmative action dan narasi emansipasi dalam konteks politik hari ini.”
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system. (Dikutip dari dpr.go.id)
Sebagai narasumber, Hurriyah, S.Sos, IMAS (Direktur Puskapol UI dan Dosen Ilmu Politik FISIP UI), Diah Pitaloka, S.Sos, M.Si (Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI)), Dr. Ida Budhiati, S.H, M.H (Anggota KPU RI Periode 2012-2017), Wahidah Suaib (Anggota Bawaslu RI Periode 2008-2012).
Dapat disaksikan melalui chanel Youtube Puskapol FISIP UI