Depok, 8 Desember 2023 – Agustinus Sem Porak Tangkeliku sah menjadi Doktor Antropologi dengan predikat sangat memuaskan. Ia mempertahankan disertasinya yang berjudul “Judi Adu Kerbau Sebagai Jendela Untuk Melihat Kontinuitas dan Perubahan Ritual Pemakaman di Toraja” di depan para dewan penguji pada promosi doktor di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Jumat (8/12).
Sebagai promotor, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, MA dan kopromotor, Dave Lumenta, Ph.D. Serta dewan penguji, Hatib Abdul Kadir, MA, Ph.D, Tommy Christomy, Ph.D, Dr. Sri Murni, M. Kes, Dr. Phil. Imam Ardhianto. Promosi doktor Agustinus di pimpin oleh Prof. Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, M.Si., M.Sc, Ph.D.
Disertasi ini mengkaji perkembangan judi dalam ritual adu kerbau (ma’pasilaga tedong) dalam upacara pemakaman rambu solo’ di Tana Toraja dan Toraja Utara. Perkembangan judi dalam atraksi ma’pasilaga tedong yang menggambarkan perubahan dalam masyarakat Toraja baik itu perubahan struktur sosial dan juga perubahan ritual.
Agustinus menjelaskan bahwa pelaksanaan upacara rambu solo’ yang semakin mewah menjadi fenomena akan perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat Toraja. Perkembangan judi dalam permainan adu kerbau dapat menjadi jendela untuk melihat perubahan sosial dan kebaharuan dalam ritual.
“Ma’pasilaga tedong tidak bisa dilepaskan dari ritual rambu solo’ karena kerbau dan permainan adu kerbau bagian dari ritual. Selama kerbau masih ada kerbau dan menjadi hewan kurban dalam upacara rambu solo, adu kerbau akan selalu ada dalam rambu solo”, ujarnya.
Data diperoleh melalui penelitian dengan menggunakan metode etnografi yang menekankan observasi terlibat dan wawancara mendalam. Melalui observasi peneliti terlibat dalam ritual dan hadir dalam arena judi.
Data-data observasi diperkuat dan dilengkapi melalui wawancara mendalam dengan para tokoh adat dan pelaku ritual serta aktor judi. Data lapangan juga diperkaya dengan penelusuran literatur. Data dianalisa berdasarkan perspektif ritual sebagai proses perubahan sosial.
Dalam penelitian ini Agustinus menyimpulkan, bahwa ritual pemakaman seperti rambu solo’ adalah salah ritual peralihan dalam siklus hidup biologis manusia. Kematian menunjukkan pemisahan antara orang hidup dan mati. Orang yang meninggal dunia beralih kepada dunia arwah. Ritual peralihan melibatkan perubahan status seseorang. Rambu solo’ sebagai ritual peralihan memperlihatkan perubahan status seseorang sebagai sungguh-sungguh meninggal.
Ia menjelaskan, “sebelum upacara ritual rambu solo’ dilaksanakan orang yang meninggal masih dianggap sebagai orang hidup (orang sakit yang sedang tidur) Ritual rambu solo’ sebagai ritual peralihan juga menjadi sarana (kendaraan) untuk memperolah pengakuan dari masyarakat atas status sosial yang dicapai seseorang. Dengan demikian ritual menjadi proses inisiasi seseorang untuk diterima sebagai orang kaya dan bisa disejajarkan sebagai bangsawan.”
Agustinus mengatakan, ritual pemakaman sebagai kendaraan untuk memperoleh pengakuan status sosial yang dimiliki atau telah dicapai dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi kelas atas (kelompok bangsawan) ritual pemakaman meneguhkan sosial sebagai bangsawan yang diperoleh karena keturunan. Kedua, dari sisi masyarakat kelasa bawah, ritual pemakaman menjadi kendaraan untuk memperoleh pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap status sosial yang telah dicapai.
Permainan adu kerbau yang menjadi bagian dari ritual rambu solo’ dikontsruksi oleh para aktor sehingga menjadi sebuah pranata yang membuka kemungkinan untuk berlakunya sebuah tindakan yakni judi.
Ia menekankan, “sebenarnya terdapat larangan judi dalam bentuk apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah maupun gereja. Oleh karena itu ritual pemakaman kini bisa juga dipandang sebagai arena permainan judi yang bisa menyembunyikan aktor-aktor yang terlibat dari jerat hukum, bahkan larangan agama”
Temuan disertasi ini menunjukkan bahwa reproduksi ritual yang dikonstukstruksi oleh para aktor menjadi pranata judi, merupakan proses penegasan identitas. Para aktor mengidentifikasi diri sebagai pencinta adu kerbau (pencinta tedong silaga), yang menunjuk pada sebuah tradisi yang dapat melegitimasi keberadaan kelompok dan segala tindakan mereka.