Perempuan PRT (Pekerja Rumah Tangga) adalah perempuan pekerja yang menerima upah dengan melakukan pekerjaan domestik. Di Indonesia, perempuan PRT masih dikategorikan sebagai anggota keluarga sekaligus pekerja. Oleh karena itu muncul pemahaman yang mempersepsikan bahwa perempuan PRT bukanlah pekerja profesional. Hal ini mengakibatkan relasi yang tidak setara antara perempuan PRT dan pihak lain dan memunculkan perbedaan kewenangan bagi mereka.
Nuria Astagini berhasil lulus dari Program Studi Doktoral Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi Makna Profesi Pekerja Rumah Tangga (Studi Interaksionisme Simbolik Pada Narasi Perempuan Pekerja Rumah Tangga di Jabodetabek) di Auditorium Juwono Sudarsono secara hybrid pada Kami (21/7).
Sebagai promotor Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A, kopromotor I Dr. Nina Mutmainnah, M.Si dan kopromotor II Endah Triastuti, M.Si, Ph.D beserta dengan tim penguji Prof. Dr. Eni Maryani, M.Sil, Prof. Dr. Alois Agus Nugroho, Ph.D, Prof. Dr. Ilya R. Sunarwinadi, M.Si, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc dan Dr. Donna Asteria, M.Hum.
Salah satu upaya perempuan PRT untuk mensetarakan posisi adalah melalui ekspresi narasi terkait profesi profesi mereka. Studi ini mengkaji narasi identitas profesi yang diekspresikan oleh perempuan PRT dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, serta dengan memasukkan konsep kewenangan serta aspek emosi yang muncul dari proses interaksi. Pengumpulan data dilakukan dari enam perempuan partisipan penelitian yang berprofesi sebagai PRT di daerah Jabodetabek, ditambah tujuh orang partisipan penelitian yang merupakan pengguna jasa dan anggota keluarga perempuan PRT.
Para perempuan PRT mengkonstruksi makna bagi profesi mereka sebagai orang kepercayaan pengguna jasa, tenaga kerja yang terampil dalam melakukan pekerjaan domestik dan berpengalaman. Pemaknaan in terlihat dalam narasi yang menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya sudah mampu melepaskan diri dari konstruksi negatif yang ada di masyarakat. Narasi yang mengekspresikan makna profesi perempuan PRT merupakan hasil interaksi mind, self dan society. Melalui proses ini perempuan PRT menyerap dan mengolah makna terhadap identitas profesi sebagaimana yang ada di masyarakat, dan kemudian membangun identitas bar sesuai dengan pengalaman dan konteks situasi yang mereka alami melalui persepsi mereka sendiri. Narasi mana profesi yang dibangun tidak lepas dari peranan significant others dan generalized others.
Terdapat tiga identitas profesi yang dinarasikan oleh perempuan PRT, yaitu pembantu, asisten dan penolakan terhadap identifikasi sebagai PRT. Sebutan pembantu ditampilkan melalui narasi partisipan yang menganggap bahwa kata “pembantu” bermakna adalah pekerja keras yang berpengalaman, profesional dan bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga ketika menyebutkan profesi mereka sebagai pembantu, narasi yang diekspresikan ole para partisipan penelitian tidak memperlihatkan adanya emosi yang negatif. Konseptualisasi yang dinarasikan perempuan PRT memperlihatkan adanya kewenangan yang mereka miliki dengan mengkonseptualisasikan profesi sesuai dengan keinginan mereka.
Perempuan PR menampilkan dirinya dalam interaksi sosial melalui symbol berupa posisi dan profesi. Simbol posisi dipertukarkan dengan keluarga sebagai significant others dan termanifestasi dalam bentuk kepemilikan harta benda serta kemampuan partisipan dalam memenuhi peran sebagai tulang punggung keluarga.
Manifestasi simbol posisi dimaknakan sebagai penghargaan dan penerimaan posisi dari keluarga, oleh karena itu para partisipan berusaha menampilkan diri mereka di depan keluarga bear dengan menggunakan simbol tersebut.
Penampilan diri para partisipan dengan pengguna jasa dinarasikan dengan kata profesional, loyalitas, kepercayaan, dan pengabdian. Oleh karena itu, simbol utama dalam interaksi in adalah simbol profesi. Simbol ini dimanifestasikan oleh para partisipan melalui loyalitas kepada pengguna jasa dan pengabdian pada pengguna jasa. Loyalitas terlihat melalui narasi yang mengungkapkan tidak adanya keinginan mereka untuk berpindah kerja. Sementara pengabdian dinarasikan melalui sikap partisipan yang menerima semua tugas yang didelegasikan pengguna jasa dan tidak membicarakan gaji yang mereka terima.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh beberapa temuan, antara lain bahwa proses pembentukan identitas profesi pada perempuan PRT terjadi melalui interaksi antara mind, self dan sociery dalam interaksi soaial dengan pihak lain. Partisipan menggunakan istilah pembantu dan asisten untuk mengidentifikasi profesi mereka. Namun partisipan melekatkan makna bar pada kata pembantu, yaitu sebagai pekerja keras yang berpengalaman dan terampil, jauh berbeda dari konsep pembantu yang dikenal masyarakat selama ini. Pembentukan makna profesi yang dipahami oleh para partisipan tidak lepas dari peranan significant others yaitu keluarga yang berinteraksi dengan partisipan.
Dalam interaksinya dengan keluarga, partisipan mempertukarkan simbol posisi. Sedangkan dalam interaksi dengan pengguna jasa mereka mempertukarkan simbol profesi. Dalam interaksi ini, para partisipan tidak hanya menerapkan aspek Me yang bersifat sosial tetapi juga mengedepankan aspek I yang aktif untuk menunjukkan bahwa perempuan PRT memiliki posisi tawar. Proses interaksi juga merupakan sarana pembelajaran bagi perempuan PRT untuk mendapatkan sumber daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai strategi penolakan untuk mensetarakan posisi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan partisipan mengetahui bahwa profesi membuat mereka berada di status sosial bawah. Namun terlihat jelas terdapat usaha dari para partisipan untuk melemahkan stigma yang ada di masyarakat dengan melakukan berbagai strategi. Salah satu dari strategi tersebut adalah mengenali dan mengembangkan sumber daya yang mereka miliki, yang dapat memperkuat posisi tawar perempuan PRT di mata pengguna jasa. Sumber daya ini kemudian digunakan untuk menyeimbangkan posisi antara PRT dan pengguna jasa maupun dalam berbagai strategi penolakan.