


Mufti Nurlatifah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Kebebasan Bermedia pada Jurnalisme Digital di Indonesia Studi Terhadap Regulasi Media dan Kasus Jurnalisme Digital pada Tahun 2008-2020 dan secara resmi mendapatkan gelar Doktor pada Jumat (16/06) di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS). Mufti Nurlatifah mendapatkan predikat sangat memuaskan, ia menjadi doktor ke-135 dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Sebagai ketua promosi doktor, Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. Promotor, Dr. Nina Mutmainnah, M.Si., Prof. Dr. Sulistiyowati Irianto, M.A dan kopromotor, Dr. Pinckey Triputra. Sebagai dewan penguji, Dr. Ade Armando, M.S., Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos, SH, M.Si., Bapak Kuskrido Ambardi, Ph.D., dan Dr. rer.Soc. Masduki.
Dalam disertasi ini Mufti membahas mengenai kebebasan bermedia pada jurnalisme digital. Kebebasan bermedia didefinisikan sebagai prinsip institusi media untuk menyelenggarakan peran dan tanggung jawabnya kepada publik sesuai dengan platform media digital di mana proses produksi dan distribusi informasi berlangsung.
Tujuan penelitian adalah menguraikan esensi kebebasan bermedia pada jurnalisme digital melalui analisis kualitas informasi produk jurnalistik, profesionalitas jurnalis, struktur kelembagaan institusi media, partsipasi, deinstitusionalisasi, inovasi dan entrepreneurship pada platform jurnalisme digital di Indonesia.
Mufti menjelakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian post positivist yang dikembangkan dengan analisis tekstual regulasi media, analisis isi putusan kasus jurnalisme digital, analisis konten media, analisis dokumen dan wawancara.
Menurut Mufti dalam disertasi ini menghasilkan tiga temuan penelitian yaitu pertama, regulasi media di Indonesia melegitimasi kriteria profesional bagi jurnalis, namun tidak memberikan ruang kepada produsen informasi yang tidak memiliki lisensi, pendidikan dan pelatihan jurnalis, sekalipun mereka berkomitmen terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kedua, regulasi media di Indonesia melegitimasi institusi media dengan struktur kelembagaan yang jelas, namun mengabaikan konsekuensi ekosistem jurnalisme digital yang terbuka bagi semua pihak. Ketiga, isu praktik jurnalisme digital melalui partisipasi, deinstitusionalisasi, inovasi, entrepreneurship teridentifikasi, namun belum terdapat ruang legitimasi yang memadai dalam regulasi media.
Penelitian ini menunjukkan bahwa konsekuensi media digital mempengaruhi ruang redaksi melalui adopsi teknologi yang dilakukan oleh jurnalis dan institusi media. Kontrak sosial atas kebebasan bermedia pada akhirnya tidak berhenti pada regulasi media, namun pada batas toleransi penggunaan teknologi media dalam ruang otonom redaksi, karena hal tersebut juga berdampak bagi fungsi dan peran media untuk publik.
Mempertimbangkan keseluruhan rangkaian penelitian mengenai kebebasan bermedia pada jurnalisme digital, Mufti merekomendasi dan memberi saran dari penelitiannya, yaitu operasionalisasi atas kebebasan bermedia dengan menggunakan indikator lain memungkinkan untuk dilakukan. Kebebasan bermedia merupakan socio-legal construction, yang mengkombinasikan gatekeeping role dan ekspektasi aspek normative media. “Dalam pandangan socio-legal construction, kebebasan bermedia juga merupakan bagian dari praktik jurnalistik sehari-hari karena adopsi atas teknologi oleh jurnalis dan institusi media dapat dilakukan dalam kondisi sadar dan tidak sadar, sehingga kontrak sosial atas kebebasan bermedia juga berkembang,” ujranya.
Melalui sudut pandang tersebut, pada penelitian mendatang, kajian yang menitikberatkan pada budaya jurnalisme perlu dilakukan untuk melengkapi elaborasi atas kebebasan bermedia dalam kajian ini.