Depok, 3 Juli 2024 – Ezki Tri Rezeki Widianti menjadi lulusan doktoral Ilmu Komunikasi FISIP UI ke-143 dengan predikat sangat memuaskan setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai Lembaga Penyiaran Publik” pada Rabu (3/7) di Auditorium Komunikasi FISIP UI, di hadapan para dewan penguji.
Selaku ketua sidang promosi doktor, Prof. Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D., sebagai promotor Dr. Hendriyani, M.Si. dan kopromotor Dr. Eriyanto, M.Si. Serta dewan penguji, Prof. Dr. Phill. Hermin Indah Wahyuni, M.Si., Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si., Dr. Nina Mutmainah, M.Si., Dr. Irwansyah, M.A., dan Dr. Camelia Catharina L.S.,M.Si.
Ezki menjelaskan, disertasi ini membahas tentang pelemahan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP). TVRI yang didirikan pada 1962 telah melewati tiga generasi pemerintahan: Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca- Reformasi.
“Di ketiga periode itu, TVRI menjadi objek tarik-menarik kekuasaan sehingga mempengaruhi pengelolaan TVRI. Ketika ditetapkan menjadi LPP di dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, TVRI diharapkan dapat menjadi media yang independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Dua dekade setelah UU Penyiaran 32/2002, TVRI tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, bahkan semakin ditinggalkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan kegagalan ini kerap dianggap sebagai ketidakmampuan internal TVRI untuk mengelola TVRI. Namun, semua permasalahan yang berjalin kelindan membelit TVRI adalah dampak dari upaya pelemahan yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif), legislatif, dan Lembaga Penyiaran Swasta. Kepentingan pemerintah dan swasta terhadap TVRI mengintervensi berbagai aspek, mulai dari kebijakan, keuangan, SDM, hingga isi siaran.
Ezki mengatakan bahwa penyiaran adalah perwujudan dari salah satu empat pilar demokrasi. Di dalam penyiaran yang kuat ada pers yang kuat pula. Kenyataan bahwa TVRI tidak mandiri bahkan didominasi oleh eksekutif dan legislatif, menunjukkan kualitas demokrasi di Indonesia. Keterlibatan masyarakat sipil pada beberapa indikator bentuk ideal LPP juga terbatas di awal Reformasi saja.
Menurutnya, dikebirinya fungsi regulator dari KPI membuat aturan tentang penyiaran kembali ke tangan pemerintah, dan legislatif di beberapa bagiannya. Hal ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi karena normalnya, eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai yang sama. Pada akhirnya, keduanya akan mengatur penyiaran, termasuk LPP, demi kepentingan politiknya.
Ketidakmampuan TVRI bertransformasi menjadi LPP yang kuat terjadi karena beragam permasalahan penyiaran yang timbul dari penerapan kebijakan dan regulasi pemerintah. Sementara itu, regulasi penyiaran juga dibuat bukan dalam ruang hampa yang netral melainkan sangat bergantung pada iklim sosial politik pada masa itu.
Dalam penelitiannya ini, Ezki menyimpulkan, perubahan bentuk kelembagaan TVRI terjadi di sepanjang tiga periode pemerintahan di Indonesia: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perubahan bentuk kelembagaan ini menciptakan berbagai problem karena di setiap bentuk lembaga, TVRI harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dilihat dari persoalan-persoalan yang membelit TVRI, ada kesenjangan dengan bentuk ideal LPP. Dari faktor proses hukum dan regulasi yang mengatur TVRI secara khusus, dan penyiaran secara umum, tidak jelas dan ajek.
“Keterlibatan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif di berbagai bidang menyebabkan TVRI tidak memiliki otoritas politik maupun ekonomi. Dari pengaturan dan pengelolaan yang tidak sesuai dengan bentuk ideal LPP, TVRI tidak berhasil memproduksi konten yang ideal bagi LPP,” jelas Ezki.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “meskipun ada upaya untuk mewujudkan konten yang mendidik, informatif, dan menghibur, tetapi sistem penyiaran yang berorientasi pada jumlah penonton, membuat citra siaran TVRI dianggap tidak berkembang. Padahal, dari sisi layanan, TVRI lebih mampu menjangkau publik di berbagai wilayah, termasuk tersedia di platform digital, dan memenuhi kebutuhan masyarakat di masa krisis.”
Dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh TVRI tersebut, disebabkan oleh kebijakan pemerintah soal pengaturan penyiaran, baik yang terkait langsung dengan TVRI maupun yang berkaitan dengan penyiaran secara umum.
“Sementara pada masa pasca-Reformasi, kebijakan desentralisasi yang harusnya dilaksanakan oleh semua stasiun televisi, termasuk swasta, justru diabaikan. Sikap ini menunjukkan bahwa pemerintah memfavoritkan televisi swasta dan tidak peduli dengan kepentingan publik dalam hal keberagaman berita dan siaran. Padahal jika pemerintah konsisten melaksanakan desentralisasi penyiaran, maka swasta harus mengalokasikan dana yang sangat besar, seperti yang dilakukan TVRI, untuk melaksanakan televisi berjaringan,” tutupnya saat promosi sidang.