Disertasi ini beriudul “Konflik Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Kepulauan Studi Kasus Pengelolaan Labuh Jangkar di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017-2022.” Bismar Arianto menyelesaikan studinya dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI dengan hasil akhir cumlaude dan mampu mempertahankan hasil penelitiannya didepan para dewan penguji.
Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A (Promotor) dan Dr. Phil. Aditya Perdana, M.Si (Ko Promotor), penguji ahli Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, dan para penguji dari Departemen Ilmu Politik yaitu; Prof. Dr. Valina Singka, M.Si, Dr. Phil. Panji Anugrah Permana, M.Si, Meidi Kosandi, M.A., Ph.D, Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si dan Prof. Amir Santoso, M. Soc., S.Ci., Ph.D
Studi ini mengkaji aspek pelaksanaan desentralisasi yang memicu terjadinya konflik. Kasus yang diteliti pengelolaan labuh jangkar di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2022. Permasalahan pokok dalam kajian ini; mengapa terjadi konflik kewenangan antara Pemprov Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat dalam pengelolaan labuh jangkar sepanjang tahun 2017-2022 dan bagaimana relasi pemerintah pusat dengan pengusaha pada saat teriadi konflik tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus tunggal terjalin (embeded). Dua teori utama yang digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian ini yaitu desentralisasi dan resentralisasi yang didukung oleh teori konflik politik dan resolusi konflik. Teori kedua yang digunakan yaitu teori rent seeking.
Konflik antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat disebabkan oleh saling klaim, tumpang tindih regulasi, perebutan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi dan perbedaan kepentingan di antara pihak yang berkonflik. Posisi pemerintah pusat sangat kuat dalam konflik ini, ditandai dengan pemungutan uang labuh jangkar masih dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dan BP Batam. Di sisi lain terjadinya proses deotonomisasi/resentralisasi pada masa reformasi. Proses ini dilakukan secara legal formal dengan mengubah UU pemerintahan daerah. Kebijakan deotonomisasi/resentralisasi semakin memperlemah bargaining power pemerintah daerah.
Kegagalan daerah dalam konflik ini karena secara historis dan yuridis pemerintah pusat lebih dahulu melakukan pemungutan jasa labuh, serta faktor psiko hirarki Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Kelemahan lain adalah terbatasnya keterlibatan dan dukungan publik dalam eskalasi konflik ini, sehingga yang dominan berkonflik hanya antara Pemprov Kepulauan Riau dengan emerintah pusat.
Penelitian ini menemukan lima model rent seeking yang terbangun dalam relasi pemerintah pusat dengan pengusaha labuh jangkar. Resolusi konflik dilakukan dengan cara pembagian sumber daya dan salah satu pihak mengubah prioritas tuntutan. Faktor anggaran pembangunan dan kompensasi bisnis pengelolaan labuh jangkar menjadi faktor yang dominan dalam proses negosiasi dan membangun resolusi konflik.
Penelitian ini berkontribusi menielaskan deotonomisasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi da resentralisasi. Studi ini berkontribusi menambahkan putaran desentralisasi di Indonesia memasuki fase ketujuh yaitu deotonomisasi/resentralisasi. Kontribusi teoritis pada teori rent seeking adalah menambah model rent seeking yang dikemukan oleh Ross dengan model keempat yaitu rent previlege.