


Di Indonesia, kematian akibat bunuh diri di berbagai rentang populasi terus meningkat, tidak hanya di daerah, namun juga di tingkat nasional. Pada level kabupaten, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, setiap tahun kurang lebih terjadi 30 kasus bunuh diri, jumlah yang konsisten sejak beberapa dekade.
Bunuh diri dalam perspektif kriminologi dikategorikan sebagai perilaku menyimpang. Ciri utama perilaku menyimpang adalah pola tindakan yang bertentangan dengan moral masyarakat dan norma-norma umum yang berlaku
Risiko bunuh diri paling banyak terjadi pada lansia. Bunuh diri di kalangan lanjut usia adalah silent epidemic. Sebagian besar disebabkan oleh kecenderungan lansia hidup sendiri, terisolasi secara sosial, dan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental. Kondisi tersebut diperparah apabila lansia tinggal di lingkungan perdesaan dengan akses pada fasilitas kesehatan yang minim.
Bertolak dari latar belakang tersebut, Nastiti Soegeng Lestari mengkaji disertasi yang berjudul “Gejala Bunuh Diri Kelompok Lanjut Usia di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta: Sebuah Autopsi Kriminologi Melalui Penggunaan Teori Integratif”.
Nastiti secara resmi mendapatkan gelar Doktor Kriminologi dari FISIP UI dengan predikat kelulusan “Sangat Memuaskan” pada Rabu (25/06) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memahami secara komprehensif faktor-faktor yang memengaruhi tingkat bunuh diri pada kelompok lanjut usia di wilayah Gunungkidul.
“Studi menemukan 6 faktor yang berkontribusi terhadap bunuh diri lansia di Kabupaten Gunungkidul sesuai urutan adalah akibat tingkat partisipasi yang tinggi, masalah finansial, perasaan menjadi beban, kesepian, masalah kesehatan mental, dan riwayat kesehatan mental keluarga,” ujar Nastiti.
Lebih lanjut ia menejaskan bahwa temuan ini mengindikasikan jika partisipasi lansia dalam aktivitas sosial menjadi kontributor terbesar, terutama pada kelompok usia 60-69 dan 70-79. Pada konteks wilayah Gunungkidul, keterlibatan pada aktivitas sosial tertentu justru berpotensi memperburuk kondisi mental lansia, kemungkinan disebabkan oleh tekanan sosial atau harapan yang tidak terpenuhi.
“Individu dan struktur saling berinteraksi dalam membentuk fakta bunuh diri yang merupakan isu kesehatan masyarakat. Secara kriminologi budaya, subjek untuk menjelaskan bunuh diri bukan diperoleh dari kultur dan berbagai kepercayaan yang diadopsi oleh pelaku dan masyarakat. Dalam konteks kriminologi kesejahteraan, lansia bunuh diri didudukkan sebagai korban atas pengabaian yang dilakukan oleh negara,” jelas Nastiti.
Nastiti menyimpulkan jika di Gunungkidul kasus bunuh diri cenderung dipandang sebagai persoalan akut, tiba-tiba muncul dan “mengagetkan” sehingga sering kali ditanggapi secara kultural sebagai pulung gantung, secara medis sebagai depresi atau sakit jiwa, dan secara kepemerintahan sebagai akibat dari kemiskinan dan kekeringan wilayah.
“Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa bunuh diri lansia di Gunungkidul tidak bisa hanya dipandang sebagai fenomena individual, ataupun masalah kesehatan mental semata, tetapi sebagai sebuah fenomena yang terstruktur dan dipengaruhi oleh berbagai lapisan sosial, budaya, serta sejarah pribadi individu,” ujarnya.
Dibutuhkan kolaborasi antara praktisi dan pembuat kebijakan. Ia memberikan rekomendasi perbaikan fasilitas dan layanan kesehatan bagi lansia, serta perbaikan big data sebagai intervensi ekonomi.
Selain itu, peningkatan kegiatan Posyandu Lansia yang merupakan satu-satunya wadah untuk aktivitas sosial yang membawa tone positif, penguatan peran keluarga, dan pendekatan budaya untuk mematahkan mitos, serta peningkatan program dukungan psikososial.
Sidang promosi doktor Nastiti di ketuai oleh Prof. Dr. Drs. Dody Prayogo, MPST. Di promotori oleh Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A dan kopromotor Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si.
Nastiti berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan para dewan penguji, yaitu Dr. Dra. Soetji Andari, M.Si., Prof. Dra. Francisia Saveria Sika Ery Seda, M.A., Ph.D., Prof. Drs. Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D., Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si., dan Dr. Dra. Vinita Susanti, M.Si.