Depok, 17 September 2024 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) melihat bahwa kampus harus menjadi tempat persemaian gagasan-gagasan dan manusia-manusia yang dibangun untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia.
Menyadari peran tersebut, FISIP UI melihat kewajiban penting dari kampus untuk turut serta dalam menjawab berbagai kekhawatiran tentang masa depan demokrasi Indonesia. FISIP UI menyelenggarakan Diskusi Kebangsaan dengan judul “Demokrasi untuk Masa Depan Indonesia” pada Selasa (17/09) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Diskusi ini menjadi ajang tanya jawab serta bertukar pandang antara pembicara dengan audience. Tujuan kegiatan untuk menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dan mendapatkan gambaran mengenai perkembangan terkini tentang demokrasi Indonesia.
Indonesia seringkali disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, berbagai lembaga internasional, pengamat, dan sarjana dari dalam dan luar negeri dalam beberapa waktu terakhir ini mengungkapkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP UI mengatakan, “bicara demokrasi, sebagai satu ideologi, sebagai gagasan yang muncul belakangan dibanding berbagai ideologi, mungkin merupakan indigenous ideology atau satu hal yang sudah muncul dari awal, pertanyaannya menjadi relevan ya, apakah demokrasi ini akan bisa menjadi bagian dari tata kehidupan kita, bermasyarakat dan bernegara ya.”
“Mungkin demokrasi kita punya sifat gotong-royong dan ini coba diterapkan oleh banyak ahli di tahun 70an sampai 80an, banyak sekali yang mencoba menggagas, kayak apa sih demokrasi yang cocok untuk indonesia. Tapi kita mendengarai sejak reformasi, kemudian orientasi kita mengenai demokrasi nampaknya sedikit bergeser ke barat, berbagai ideologi yang masuk di penghujung abad 20 menuju abad 21 sedang menyeruak masuk,” jelasnya.
Menurut Prof. Aji, demokrasi masuk bersamaan dengan gagasan mengenai human rights di dalam konteks kemanusiaan, gagasan multiculturalism di dalam konteks kebudayaan dan gagasan-gagasan yang mendorong tempat yang baik pada inisiatif-inisiatif individualnya, “jadi demokrasi yang masuk ke kita 25 tahun yang lalu itu tidak tunggal tidak sendirian tapi datang bersama paket human rights, paket multiculturalism dan sebagainya dan ini menambah kompleks permasalahannya kita,” jelasnya.
Kecenderungan “kemunduran demokrasi”, “pembalikan reformasi” menjadi kata-kata kunci yang menjadi tema utama para pengamat politik Indonesia. Beberapa waktu lalu, menjelang penutupan pendaftaran calon kepala daerah pada bulan Agustus 2024, terjadi demonstrasi besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat yang menyuarakan kekhawatiran yang sama.
Menurut Fajri Siregar (Dosen Sosiologi FISIP UI), persoalan demokrasi tidak bisa dipahami secara terpisah dari berbagai faktor yang mempengaruhi sosial kenegaraan seperti situasi global, ekonomi, politik, sosial dan budaya.
“Secara sosiologi saya merasa bahwa persoalan yang ada di system politik itu merupakan cerminan dari masyarakat. Jadi pertama. Di sistem politik itu kita bisa lihat bahwa partai politik itu sedikit sekali yang mencerminkan sebenarnya sebuah ideologi dan banyak sekali partai politik yang terbentuk pasca reformasi karena adanya figur elit yang membentuk partai politik sehingga itu secara terus menerus menurunkan pentingnya ideologi dari sistem politik,” ujarnya.
“Bicara demokrasi Indonesia. Masa depan tentu penting juga bagi kita melihat demokrasi yang ada di masa lampau kemarin, kalau kita tahu sendiri tentu demokrasi yang ada di Indonesia punya sejarah panjang, sampai sekarang demokrasi pasca reformasi tetapi yang selalu kita gaungkan yang selalu kita jadikan tolak ukur dan pedoman. Saya melihat makin ke sini amanat reformasi, tahun 98 itu semakin dikhianati,” tutur Ketua BEM UI, Zayyid Sulthan Athan.
Lebih lanjut ia mengatakan, “saya melihat kemunduran demokrasi pada saat ini terjadi karenasemua pihak yang ada punya andil, baik dari para penguasa termasuk juga dari kita masyarakat warga negara dari Indonesia itu sendiri.
“kalau kita bicara konteks siapa yang paling andil dalam kemunduran demokrasi Indonesia saat ini saya kira sudah sepantasnya satu nama yang muncul di kepala kita semua dan bagi saya sangat layak untuk disematkan tentu kepada rezim Joko Widodo, mohon maaf sekali bila di ruangan ini masih ada yang menjadi simpatisan dari beliau,” jelasnya.
Disi lain, Fentiny Nugroho, Ph.D (Dosen Kesejahteraan Sosial) menyampaikan rasa salutnya, dan bangganya kepada mahasiswa yang turun kejalan menyuarakan aspirasinya, “perjuangannya luar biasa, sangat patriotik pada saat demo RUU Pilkada.”
“Tapi demokrasi itu tampaknya lebih merupakan wacana bagi golongan terdidik dan menengah atas mungkin gitu yaa, tampaknya begitu, sehingga kelompok miskin apalagi the poorest of the poor gak nyambung tuh. Jadi sekarang, mungkin perjuangannya kedepan kalau memang lebih ingin inklusif, perjuangan itu, ke arah demokrasi itu mungkin bagaimana membahas demokrasi itu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat bawah juga, karena bagi mereka, yang penting kenyang nih,” jelas Fentiny.
Fentiny mengatakan bahwa dulu pernah ada yang mengatakan, “reformasi berhasil, tapi kita kok gak kenyang, masih ada laper-lapernya juga, kita kok masih menderita? jadi bagaimana demokrasi ini bisa menjawab kesejahteraan gitu, jadi itu mungkin yang sifatnya agak reflektif tentang perjuangan demokrasi ini yang sangat penting untuk indonesia kita.”