Ellen M. Yasak resmi menjadi doktor Ilmu Komunikasi setelah berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan para dewan penguji. Sidang terbuka promosi doktor Ellen dilaksanakan pada Jumat (6/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Disertasi Ellen berjudul “Dominasi Wacana Maskulin dalam Habitus Perempuan Pewarta Foto: Telaah Foto Berita dari Sudut Pandang Semiotika Sosial Multimodal”.
Perempuan yang hidup dalam sistem patriarki, seperti di Indonesia, berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan, mampu bersaing di kancah publik dan bukan warga negara kelas dua. Idealnya, kebijakan yang terkait dengan hak warga negara harus menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki.
Sejak dulu jumlah jurnalis laki-laki selalu lebih banyak dibandingkan pewarta perempuan. Apalagi Jumlah mereka yang berprofesi sebagai pewarta fotonya lebih kecil lagi. Berprofesi sebagai pewarta memiliki tantangan dan risiko tinggi, terlebih untuk perempuan. Mereka harus bersaing dengan pewarta laki-laki untuk mendapat berita secara profesional.
Perbedaan pengalaman, identitas gender, struktur patriarki yang dikukuhkan oleh maskulinitas berimplikasi pada karya perempuan fotografer. Diskriminasi berbasis gender di tempat kerja, membuat perempuan di Indonesia lebih rentan dan lebih mungkin untuk dieksploitasi dibandingkan rekan kerja laki-laki. Kondisi itu turut memengaruhi kondisi perempuan pewarta foto.
Penelitian ini menelaah sumber semiotik yang dibentuk dari habitus perempuan pewarta foto, yang berimplikasi pada pilihan bahasa visual mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah semiotika sosial multimodal.
Penerapan analisis semiotika sosial pada karya perempuan pewarta foto di atas dapat mendeskripsikan karakter visual masing-masing yang dilihat dari pilihan sumber semiotis yang digunakan. Pembentukan habitus terjadi pada perempuan pewarta foto dalam kurun waktu yang lama, secara berulang-ulang dan bersifat dialektis.
Proses pembelajaran mereka dalam lingkungan sosial di mana habitus dibentuk, menurut Bourdieu berkaitan erat dengan tatanan sosial yang berdasarkan pembagian objek dan kegiatan sesuai dengan oposisi antara feminin dan maskulin.
Menelaah konstruksi, kekerasan, dan kekuatan simbolik memiliki pengaruh kuat pada cara pandang seseorang. Cara perempuan pewarta foto memandang realitas sosial yang diartikulasikan dalam bentuk foto jurnalistik ini tidak lepas dari habitus yang melekat pada diri mereka yang sangat personal.
Selanjutnya, meskipun visi perempuan dianggap berbeda dengan laki-laki, dari penelitian ini dapat dilihat bahwa visi laki-laki memiliki andil besar dalam visi yang disampaikan perempuan. Tidak berhenti sampai di sini, proses ini akan berlangsung secara dialektis dan tidak tetap. Setiap individu akan selalu memgalami dialektika atas realitas objektif yang ada di sekitarnya.
Ide-ide semiotika sosial tersebut didasarkan pada pemikiran Karl Marx: kesadaran sejati manusia tidak akan pernah bisa menjadi apa pun selain ideologi. Konsep ini digunakan untuk membedah foto jurnalistik yang dihasilkan oleh perempuan pewarta foto . Foto-foto yang mereka hasilkan berkaitan erat dengan preferensi pribadi berdasarkan realitas objektif yang melingkupi mereka.
Misalnya foto yang dihasilkan dari fotografer yang menerima didikan egaliter dalam keluarganya, dapat dibedakan dengan yang menerima didikan penuh diskriminasi. Tekanan atau keleluasaan yang dialami seorang pewarta foto, memengaruhi pilihan sumber semiotis visual yang mereka hasilkan.Dalam konsep semiotika sosial terdapat model fungsional bahasa untuk menentukan pilihan sumber semiotis dalam berkomunikasi.
Temuan penelitian ini yaitu (1) sumber semiotik yang dimiliki perempuan pewarta foto tidak bebas, dan ditentukan oleh habitus; (2) media menjadi sumber semiotik perempuan pewarta foto dalam memaknai dominasi maskulin; (3) dominasi wacana maskulin dibentuk dari konstruksi, kekerasan, dan kekuatan simbolik; dan (4) konteks situasi dan budaya pada konsep semiotika sosial Halliday merupakan perwujudan habitus dalam teori Bourdieu.