Depok, 5 Januari 2024 – Departemen Antropologi FISIP UI mengesahkan doktor Antropologi atas nama Nurman Hakim pada Kamis (4/1) di Auditorium Juwono Sudarsono. Ia mengangkat judul disertasi “Film, Santri Dan Identitas: Pengonstruksian Identitas Santri Melalui Film Religi dalam Pusaran Tradisi.”
Sebagai ketua Sidang, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Promotor. Promotor, Irwan Martua Hidayana, M.A., Ph.D., dan kopromotor, Dr. Tony Rudyansjah, M.Si. Serta dewan penguji, Prof. Purwo Santoso, M.A., Ph.D., Endah Triastuti, S.Sos., M.Si., Ph.D., Dr. Prihandoko Sanjatmiko, M.Si., Dr. Dave Lumenta.
Reformasi 1998 membuka keran kebebasan yang mengalir di segala lini, termasuk kehidupan berislam di Indonesia. Pada saat yang sama, film-film bertema Islam bermunculan bak jamur di musim hujan. Film yang dianggap oleh kalangan pesantren sebagai produk modernitas, datang dari barat dan sekuler, kerap kali berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam tradisi pesantren.
Disertasi ini mengeksplorasi pertemuan antara nilai-nilai yang ada di tradisi pesantren dengan medium film sebagai produk modernitas. Penelitian lapangan dilakukan di pesantren Tebuireng Jombang – Jawa Timur, dengan mengamati dan terlibat secara langsung kegiatan serta proses produksi film religi oleh para santri. Kehidupan santri di masa awal perkembangan pesantren, seolah ‘terpisah’ dari dunia luar pesantren – dianggap tidak mengikuti modernitas.
Nurman mengatakan bahwa para santri mulai merespon medium film yang selama ini dianggap sekuler dan modern itu. Mereka mengartikulasikan dan mengonstruksi identitasnya melalui film. Identitas itu kemudian terkontestasikan melalui film dengan identitas kelompok Islam lainnya, yaitu Islam konservatif seperti kelompok Forum Lingkar Pena yang banyak membuat cerita-cerita film.
“Tiga teori saya gunakan sebagai pisau analisa terhadap data-data etnografi yang saya peroleh untuk memahami bagaimana identitas santri terkonstruksikan: Teori identitas, teori value (nilai-nilai atau nilai) dan teori dialogic,” jelasnya.
Menurut Nurman, penelitian ini menunjukkan beberapa hal penting, secara teoritis bahwa identitas santri Tebuireng adalah konstruksi dari hasil proses negosiasi dan inkorporasi nilai-nilai pada tradisi pesantren dengan modernitas dalam segala bentuknya, mulai dari sekolah umum hingga teknologi film.
Antara tradisi pesantren dan modernitas (film) bukanlah dua hal yang tidak bisa didamaikan, dan bukan pula selamanya bertentangan satu sama lain. Tradisi pesantren justru memerlukan modernitas agar tradisi itu berkelanjutan dan berkembang mengikuti gerak jaman.
Nilai-nilai dalam tradisi pesantren, berupa akhlak, ibadah dan barokah termanifestasikan serta terartikulasikan ke dalam berbagai bentuk modernitas yang masuk ke pesantren, termasuk film, tanpa mengurangi hakikat dari nilai-nilai itu.
Selanjutnya Nurman mengatakan, secara praktis, upaya dan tindakan yang dilakukan oleh para santri memproduksi film, memberikan dampak tidak hanya terhadap identitas santri itu sendiri melainkan juga persepsi masyarakat luas terhadap para santri yang dianggap mampu menyerap perubahan sosial budaya yang datang dari luar pesantren.
“Melalui film-film religi yang diproduksi dan beredar di publik, baik itu yang dibuat oleh kalangan santri maupun kelompok Islam konservatif, kita dapat membaca nilai-nilainya. Nilai-nilai yang diyakini oleh masing-masing kelompok Islam, termanifestasikan ke dalam film-film yang mereka produksi,” jelas Nurman.
Dari perbedaan inilah, yang berawal dari nilai-nilai, timbul kontestasi identitas, yang pada akhirnya nanti akan bermuara dalam memperebutkan otoritas dalam pemahaman agama.
“Dari sini kita bisa membaca arah dari suatu perubahan sosial agama melalui teks film yang dicipta sebagai material culture. Kita bisa membaca Islam di Indonesia melalui film religi. Di sini, fungsi film tidak hanya lagi sekedar sebagai tontonan hiburan semata, atau sebagai karya estetika belaka, melainkan secara disadari maupun tidak, telah menjadi suatu medium yang mengambil peranan dalam kontestasi identitas keislaman diantara kelompok-kelompok Islam, dan perlahan menghanyutkan masyarakat ke dalam arus perubahan sosial agama,” tutup Nurman dalam sidang promosi doktornya.