Seiring dengan pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, kajian mengenai perburuhan menjadi isu yang menarik meninjau posisi inferior buruh yang semakin lemah dalam proses politik produksi. Pengesahan regulasi ini tentu berdampak kepada buruh di berbagai sektor tak terkecuali industri kreatif.
Kegiatan ini merupakan bagian dari pembelajaran kelas Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial yang menyoroti isu mengenai pekerja di industri kreatif sebagai salah satu topik pilihan, pada Selasa (21/3/23) di Ruang H.204 FISIP UI dengan narasumber Ikhsan Raharjo (Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif).
Di dalam kegiatan ini, narasumber memberikan pemaparan singkat mengenai kondisi terkini dari pekerja tetap maupun lepas di industri kreatif berikut persoalan dan tantangan yang menyertainya. Kegiatan akan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab antara narasumber dengan peserta kuliah secara interaktif.
Selama 2019, pekerja ekonomi kreatif tercatat mencapai 19,2 juta orang atau setara dengan 15,21% dari tenaga kerja nasional. Distribusi tenaga kerja terbanyak yaitu sub sektor kuliner (49,54%), fesyen (23%), dan kriya (20,85%). Mayoritas pekerja ekonomi kreatif berada pada usia 25-59 tahun dan 56% dari total pekerja ekonomi kreatif adalah perempuan.
Para pekerja ekonomi kreatif bekerja di atas 48 jam setiap pekan menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik pada 2021 dan sebanyak 30,5% pekerja media dan industri kreatif mengaku menjalani lembur “beberapa kali seminggu dan 51,6% mengaku tidak menerima kompensasi atas kerja lembur menurut Survei Kerja Layak Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) pada 2021.
Ikhsan mengatakan, “Minim Jaminan Pekerja terutama yang berstatus pekerja lepas atau freelancer, menanggung sendiri risiko pekerjaan mereka. Survei Kerja Layak SINDIKASI pada 2021 menemukan bahwa 64-74% freelancer tidak memiliki jaminan sosial seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.”
“Rata-rata upah pekerja ekonomi kreatif pada 2019 mencapai Rp 2,45 juta atau lebih rendah dari rata-rata upah seluruh sektor industri. pekerja mengaku khawatir atas penghasilan yang tidak pasti dan sangat khawatir dengan kelayakan upah saat ini. Sementara itu, 70% pekerja khawatir/sangat khawatir terhadap gaji/upah yang terlambat atau tidak dibayarkan,” jelas Ikhsan.
Menurut Ikhsan, perorganisasian dan perlawanan para pekerja ekonomi kreatif membuahkan hasil salah satunya dengan negara mengakui kesehatan mental sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019.
Tingkat kesadaran akan pentingnya kekuatan kolektif semakin terlihat di kalangan pekerja muda. Diskursus mengenai isu ketenagakerjaan semakin mudah ditemukan di media sosial.
Meskipun konstitusi telah menjamin kebebasan berserikat, nyatanya para pekerja industri kreatif terutama yang berstatus freelance masih menemukan hambatan dalam menggunakan haknya untuk berserikat.
Ikhsan menekankan bahwa perlu mengembangkan wacana dan praktik ekonomi tanding sebagai alternatif dari pengelolaan industri media dan kreatif yang kapitalistik serta perlu memperkuat jaringan dan solidaritas antargerakan buruh, seni, budaya, dan sektor gerakan lain dalam pemajuan demokrasi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan perspektif lebih luas kepada mahasiswa mata kuliah Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial mengenai isu-isu perburuhan dalam lingkup advokasi, kesejahteraan dan pembentukan serikat buruh pada sektor industri kreatif.