Menurut data ECPAT Indonesia, LSM yang fokus menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), Indonesia menjadi negara tujuan utama predator seks anak khususnya dari Australia di kawasan ASEAN. Kasus paling banyak justru terjadi di daerah wisata seperti Bali, Lombok, Batam, Medan, dan Jakarta. Modus eksploitasi seksual komersial terhadap anak ini ada dalam berbagai bentuk, misalnya prostitusi anak, trafficking untuk tujuan seksual, perkawinan anak, pornografi anak, dan pencabulan.
Karena dinilai membahayakan dan memiliki jaringan internasional yang terselubung, pihak imigrasi RI sampai dengan September 2016 telah mendeportasi 107 warga negara asing yang diduga sebagai pelaku seksual terhadap anak yang akan masuk ke Indonesia.
Para pelaku ESKA memiliki modus kejahatan yang terencana yang sangat rapi. Mereka mendekati masyarakat lokal untuk mendapatkan simpati atau hutang budi dengan memberikan bantuan berupa pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan atau ekonomi di daerah-daerah wisata baru. Ketika mendapatkan kepercayaan warga bahkan orang tua anak, pelaku dengan bebas mengajak anak ke tempat tinggal pelaku, meracuni anak dengan paparan pornografi, melakukan kontak seksual, bahkan berhubungan dengan sesame jaringan plaku di luar negeri untuk berbagi dengan sesame pedofilia.
Untuk membahas hal tersebut, Departemen Kriminologi bekerjasama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adakan diskusi publik yang membahas narasi tentang pedofilia dan kekerasan seksual terhadap anak. Dalam diskusi yang diadakan di Auditorium Juwono Sudarsono, Selasa (30/1), pembicara dari lintas disiplin ilmu membahas narasi yang masih kabur tentang penderita pedofilia dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hadir sebagai pembicara: Rio Hendra dari ECPAT Indonesia, Mamik Sri Supatmi yang merupakan Dosen Kriminologi UI, Prof. Dr. Nur Arif, dan Psikiatri UI dr, Tara Aseana
Pedofilia sejatinya termasuk parafilia, yaitu suatu fantasi dorongan dan fantasi seksual terhadap seorang anak pra pubertas atau dibawahnya (13 tahun ke bawah). Orientasi ini minimal dialami pengidap selama 6 bulan berturut-turut.
Penyebab pedofilia ini belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa kemungkinan, di antaranya karena pengaruh biologi yaitu gen pada tubuh, faktor dinamika atau pola asuh, dan akibat pengaruh lingkungan sekitar. Pengidap pedofilia dapat disembukan dengan terapi baik terapi obat maupun terapi perilaku.
Yang menjadi stereotype di masyarakat saat ini adalah setiap pedofilia adalah pelaku pelecehan seksual terhadap anak. Padahal menurut psikiatri Tara Aseana, tidak semua pedofilia melakukan pelecehan seksual terhadap anak, begitu juga sebaliknya, tidak semua pelaku pelecehan seksual terjadap anak adalah pedofilia.
Manusia baik laki-laki maupun perempuan dapat dikategorikan pedofil jika mengalami ketertarikan terhadap anak di bawah usia 13 tahun dan mengalami distress dalam pikirannya meskipun tidak melakukan tindakan apapun terhadap anak.