Masalah ujaran kebencian yang biasa dikenal dengan istilah hate speech merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks. Perkembangan literatur tentang ujaran kebencian menunjukkan bahwa tindakan ini memberikan konsekuensi terhadap perlukaan fisik dan mental korban, serta memicu terjadinya kekerasan.
Departemen Kriminologi menambah kembali satu doktor yaitu Wiharyani. Ia berhasil menjadi doktor kriminologi setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Pengendalian Sosial Terhadap Penyebaran Ujaran Kebencian Secara Daring (Online Hate Speech) Di Media Sosial” dihadapan para dewan penguji pada Jumat (13/1) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Sidang terbuka promosi doktor Wiharyani diketuai oleh Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes., Ph.D., dengan promotor Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A dan kopromotor Dr. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si serta para dewan penguji Prof. Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si., dan Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, potensi dampak tindakan ujaran kebencian yang muncul juga semakin besar, terutama dengan hadirnya berbagai medium perantara penyebaran ujaran kebencian di internet, seperti platform media sosial. Tidak jarang ditemui unggahan konten di media sosial yang mengandung makna kebencian, informasi yang menyesatkan, bahkan unsur-unsur ekstremisme
Penyebaran konten ujaran kebencian berpotensi memunculkan kekerasan fisik dan konflik sosial. Terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak yang merugikan akibat ujaran kebencian di media sosial, hanya sedikit konsensus yang memusatkan perhatian pada pendekatan untuk menguranginya.
Disertasi ini bertujuan merumuskan model pengendalian sosial melalui analisis pola dan efektivitas penanganan ujaran kebencian secara daring di media sosial dengan menggunakan parameter efektivitas regulasi. Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu, terutama di negara Barat yang fokus pada hak kebebasan berpendapat, penelitian ini mengedepankan pendekatan toleransi dalam menganalisis pengendalian terhadap ujaran kebencian secara daring di Indonesia.
Model pengendalian sosial terhadap tindakan penyebaran ujaran kebencian secara daring masih dilakukan secara parsial yang minim kolaborasi dan sistem yang terintegrasi antar-institusi terkait. Berdasarkan telaah data dan analisis temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa penanganan tindakan ujaran kebencian secara online di Indonesia masih belum maksimal dan efektif, baik dari segi implementasi/praktis, maupun dari segi regulasi.
Dari sisi regulasi, efektivitas pengendalian kejahatan ujaran kebencian tidak dapat dilakukan secara maksimal karena belum adanya payung hukum tersendiri yang mengatur tentang kejahatan ujaran kebencian, sehingga digunakan pasal terkait, seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan UU ITE. Sementara dari sisi praktis, penanganan ujaran kebencian dapat disimpulkan tidak berjalan dengan efektif karena tidak adanya sistem pengendalian kejahatan yang terintegrasi antar-institusi. Kolaborasi peran dari multi agency crime prevention yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sangat penting dalam model pengendalian yang penulis tawarkan.
Peran sosialisasi melibatkan seluruh agen pengendalian kejahatan, seperti dari level yang paling inti, yaitu keluarga, kemudian kelompok atau komunitas, termasuk warganet karena fokus kejahatan ujaran kebencian daring terjadi di ranah siber, selanjutnya lembaga pendidikan, perusahaan penyedia layanan media sosial dan juga pemerintah.
Model pengendalian sosial yang ideal untuk tindakan ujaran kebencian secara daring harus memperhatikan unsur kebijakan sanksi. Penerapan kebijakan sanksi ini berangkat dari kategorisasi atau levelling dalam tindakan ujaran kebencian. Dalam hal ini, salah satu alternatif kebijakan sanksi yang dapat dilakukan dalam kasus ujaran kebencian sebagai bentuk pelanggaran ringan sampai sedang adalah restorative justice yang menekankan pada permohonan maaf secara publik atau social pardon. Hal ini juga sebagai salah satu upaya mengembalikan posisi korban yang dirugikan akibat replikasi dalam penyebaran konten ujaran kebencian.
Hasil yang ditemukan dari penelitian ini, antara lain; terdapat pola berbeda dalam tindakan ujaran kebencian secara daring yang dilakukan oleh individu dengan kelompok, regulasi dan penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian secara daring selama ini tidak efektif, tidak adanya kolaborasi institusi formal dan informal dalam pengendalian ujaran kebencian, dan fokus program belum menyentuh akar masalah munculnya ujaran kebencian. Akhirnya, penelitian ini berkontribusi memberikan kebaruan terhadap model efektif dalam pengendalian sosial terhadap ujaran kebencian secara daring yang fokus pada peningkatan sosialisasi, edukasi dan fasilitasi.