Persoalan kepemudaan menjadi isu yang menarik di Indonesia. Penyebabnya ialah masih banyaknya masalah kepemudaan yang belum dapat diatasi dengan baik. Sementara institusi yang menangani kepemudaan di Indonesia cukup lengkap mulai tingkat Kementerian sampai tingkat Dinas pada Kabupaten dan Kota.
Masalah kepemudaan saat ini merupakan problem yang dialami sehari-hari oleh setiap generasi. Problematik kepemudaan yang menonjol dapat ditunjukkan antara lain rendahnya tingkat pendidikan pemuda, banyaknya pemuda yang terlibat dalam penggunaan narkotika dan barang adiktif lainnya (narkoba) dan masih sering terjadinya konflik atau tawuran yang melibatkan kelompok pemuda serta masalah penghayatan dan pemahaman nilai-nilai Pancasila di kalangan pemuda yang dinilai masih rendah. Masalah lainnya adalah kecilnya anggaran pembangunan kepemudaan khususnya pemberdayaan pemuda sehingga menimbulkan rendahnya kepuasan masyarakat atas pelayanan pemberdayan pemuda yang dilakukan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Hal terpenting untuk menyelesaikan pelbagai problematik di atas amat tergantung pada kebijakan pemberdayaan pemuda yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenpora.
Sebuah disertasi bidang Ilmu Administrasi Publik dirumuskan oleh Sakhyan Asmara dengan judul “Evaluasi Kebijakan Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Disertasi ini mengkaji evaluasi kebijakan Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Tahun 2010—2014.
Dalam sidang promosi doktornya yang berlangsung pada Kamis (21/4/2016), Sakhyan mengangkat tiga permasalahan utama, yakni: (i) bagaimana konten kebijakan pemberdayaan pemuda, (ii) bagaimana implementasi kebijakan pemberdayaan pemuda, dan (iii) bagaimana dampak kebijakan pemberdayaan pemuda dalam merespons masalah kepemudaan.
Hasil penelitian ini mendapati beberapa temuan penting. Pertama, konten kebijakan pemberdayaan pemuda tidak sepenuhnya mengarah pada sasaran pembangunan kepemudaan, miskin kreasi, inovasi, dan improvisasi yang disebabkan lemahnya kontrol pimpinan dalam perumusan program, kebiasaan menjiplak program tahun sebelumnya serta tidak dikomunikasikan dengan stakeholders kepemudaan. Kedua, dalam implementasi kebijakan terdapat kelemahan koordinasi, tingkat kepatuhan dan daya tanggap yang rendah, sistem rektrutmen tidak memadai, kompetisi Sumber Daya Manusia yang kurang tepat. Meskipun realisasi pelaksanaan tiap program cukup tinggi namun tidak berbanding lurus dengan derajat perubahan yang hendak dicapai. Ketiga, dampak yang dirasakan hanya pada tingkat individu, sedikit pada tingkat kelompok dan kecil sekali pada tingkat masyarakat, mengakibatkan lemahnya tingkat perubahan dan penerimaan sehingga belum mampu menjawab permasalahan kepemudaan secara lebih luas. Ironisnya, proses evaluasi tidak pernah dilakukan sebagai umpan balik bagi penyempuraan konten kebijakan pemberdayaan pemuda. Rekomendasi yang diajukan peneliti, Kemepora harus mengubah orientasi dalam memformulasikan dan melaksanakan kebijakan agar berdampak luas pada pembangunan kepemudaan di Indonesia.