Filantropi merupakan sebuah dunia yang belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Citra filantropis yang erat dengan tokoh-tokoh konglomerat sering membuat masyarakat salah kaprah terhadap arti sebenarnya, memaknai filantropi sebatas kegiatan eksklusif yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan sumber daya finansial yang besar. Padahal, filantropi memiliki arti sebagai tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sederhananya dapat disebut sebagai tindakan kedermawanan. Sumber daya yang disumbangkan pun bukan hanya sebatas dana, tetapi juga waktu, tenaga, dan pikiran.
Hal inilah yang diluruskan oleh Timotheus Lesmana Widjaja, Perwakilan Perhimpunan Filantropi Indonesia, dalam acara “Philanthropy Learning Forum Goes To Campus”, di Auditorium Komunikasi FISIP UI pada Selasa (17/10). Kehadirannya di hadapan puluhan mahasiswa FISIP UI tersebut dimaksudkan untuk mengajak generasi milenial menjadi ‘filantropis milenial’. Ia ingin mengajak generasi milenial untuk menjadi pembaharu semangat filantropi yang awalnya banyak berupa direct giving menjadi sumbangan yang lebih berdampak (impactful). Menurutnya, Indonesia memiliki kultur kedermawanan yang bagus, tetapi banyak berhenti pada level direct giving tanpa adanya keberlanjutan.
“Dari survey lembaga filantropi dan charity Inggris, Indonesia ada di peringkat 2 sebagai negara yang paling dermawan”, ungkap Timotheus.
Lebih lanjut, Ia menyatakan bahwa sumbangan direct giving justru akan memupuk kemalasan masyarakat. Contohnya, menurut survey yang telah dilakukan, adanya charity untuk korban banjir di Jakarta justru menjadi alasan warga menolak untuk direlokasi.
“Mereka tidak mau dipindah ke rusun, justru menunggu saat bantuan datang. Seperti mie instan berkardus-kardus, itu nanti biar bisa mereka jual lagi. Ini yang menjadikan malas dan ketergantungan”, terangnya.
Bentuk lain dari kultur kedermawanan di Indonesia potensial menjadi sumbangan yang impactful adalah zakat dan wakaf. Menurut penelitian Filantropi Inodnesia dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), penerimaan zakat di Indonesia berpotensi mencapai 200 trilyun rupiah dalam satu tahun. Selain itu, di Indonesia banyak masyarakat di Indonesia mewakafkan sesuatu tetapi dibiarkan saja, sehingga tidak menciptakan produktifitas. Oleh karena itu, Dalam konsorsium filantropi Internasional, Filantropi Indonesia bersama Yayasan Hadji Kalla berkomitmen membawa wakaf sebagai program filantropi khas Indonesia yang digali dan dikembangkan.
Kaitannya dengan peran generasi milenial, Timotheus menekankan bahwa filantropi harus dilihat sebagai wujud dari Individual Social Responsibility jangka panjang. Menurutnya, bukan sumbangan dana yang diharapkan dari filantropis milenial, tetapi sumbangan berupa ide, gagasan, tenaga, dan waktu. Gerakan-gerakan kaum muda untuk pencapaian Sustainable Development Goal (SDGs) merupakan salah satu contoh tindakan filantropis. Bentuk lainnya adalah gagasan dalam bentuk strategi komunikasi untuk menjalin kemitraan (partnership). Dari kemitraan, masing-masing potensi dapat disinergikan. Contohnya, apabila sistem blended finance yang melibatkan korporasi, gerakan crowdfunding dan sukarelawan dapat dilakukan, maka dampak yang akan diciptakan akan lebih besar dan memiliki nilai keberlanjutan dari sekedar program yang bersifat charitable.
“Konsep gotong-royong yang jadi roh dari filantropi inilah yang bisa dihidupkan kembali oleh generasi milenial”, harap Timotheus mengakhiri pemaparannya.