FISIP UI menggelar The 2nd International Conference on Social and Political Issues selama dua hari 29-30 Oktober 2018 di Prime Plaza Hotel and Suites, Sanur-Bali.Konferensi ini mengangkat tema “Rethinking Nationalism : Looking Back and Looking Forward” mencakup tujuh isu di antaranya konflik, terorisme, globalisasi, jender, hingga nasionalisme. Isu-isu tersebut menjadi tantangan fundamental pada pembangunan bangsa. Negara-negara dihadapkan oleh tekanan eksternal yang muncul dari globalisasi dan transnasional, serta secara internal dihadapkan oleh tantangan berupa gangguan sosial, dikotomi kultural, krisis finansial dan ketegangan politik.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc., menyampaikan tujuan dan harapannya terhadap konferensi ini. “ Kita mencari pemahaman yang lebih dalam akan tantangan nasionalisme di masa depan. Tidak hanya itu, konferensi ini juga untuk mengembangkan rekomendasi berdasarkan pemikiran dan pengalaman para akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan strategis lainnya.”
Konferensi ini dihadiri pula oleh beberapa akademisi dari negara lain seperti Jepang, Australia, Thailand, Korea, Nigeria, Singapura, Jerman, Amerika Serikat, dan Taiwan.
Pembicara kunci dalam konferensi ini antara lain Professor Karen Farquharson (University of Melbourne), Irjen Pol. Dr. Drs. Petrus Reinhard Golose.M.M. (Kepala Kepolisian Daerah Bali). Karen membahas surveinya di Australia mengenai Making Nation through Sport. Selain itu, pembicara tamu dalam konferensi kali ini antara lain Professor Iwan Gardono Sujatmiko (Universitas Indonesia), Professor Mari Elka Pangestu (Universitas Indonesia), Professor Vedi Hadiz (University of Melbourne, Australia), Professor Timo Kaartinen (University of Helsinki, Finland), Professor Chalidaporn Songsamphan (Thammasat University, Thailand), dan Professor Changhe Su (Fudan University, China).
Kapolda Bali secara khusus menjelaskan bagaimana terorisme itu harus dilawan melalui penguatan ideologi Pancasila. Menurutnya, terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan, sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
“Oleh karena itu, kita sebagai kelompok mayoritas di negeri ini jangan sampai menjadi silent majority yang membiarkan nilai-nilai kebangsaan terkikis oleh kelompok minoritas. Untuk itu, diharapkan peran serta dari seluruh civitas akademika agar mampu menanamkan nilai luhur Pancasila dan berkomitmen berkebangsaan yang kuat pada diri kita semua. Working together to defeat terrorism, still against terrorism and we win,” tegas Irjen Pol. Dr. Drs. Petrus Reinhard Golose,M.M.