25 Oktober 2024 – Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menyelenggarakan Simposium Antropologi 2024 yang bertajuk “Papua dan Dekolonisasi Antropologi di Indonesia”. Acara ini berlangsung pada Kamis (24/10) di Auditorium Mochtar Riady FISIP UI.
Simposium ini dilatarbelakangi oleh dorongan untuk mendekolonisasi disiplin antropologi yang selama beberapa tahun terakhir semakin menguat. Masyarakat adat, perempuan, kelompok masyarakat kulit hitam, dan kelompok terpinggirkan lainnya kerap mengkritisi antropologi atas kontribusinya dalam melanggengkan hubungan kolonial, baik di masa lampau maupun kini.
Upaya dekolonisasi menjadi kebutuhan mendesak agar perspektif yang digunakan lebih inklusif dan adil. Di Indonesia, dorongan dekolonisasi ini telah memicu berbagai pihak untuk merefleksikan kembali peran dan arah antropologi, khususnya dalam konteks Papua, yang sering kali dipahami melalui sudut pandang politik dan keamanan semata.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, menekankan mengenai pentingnya diskusi mengenai dekolonisasi, khususnya dalam konteks Papua. Prof. Aji menjelaskan bahwa dekolonisasi sebagai konsep merujuk pada upaya pemulihan kedaulatan pada wilayah dan masyarakat yang pernah dikolonisasi.
“Gagasannya adalah bagaimana kedaulatan itu dikembalikan kepada masyarakat di wilayah, dinamikanya seperti apa?” Prof. Aji melanjutkan, “jika memakai perspektif Antropologi, klaim utamanya adalah aspek holistik. Jadi ketika bicara soal pengembalian kedaulatan, bukan hanya persoalan politik semata, tetapi juga persoalan kebudayaan dan sosial, termasuk struktur sosial di dalamnya.”
Prof. Aji menutup sambutannya dengan menyoroti peran yang dapat dilakukan antropolog sebagai peneliti. “Para peneliti bukan lagi bergerak di bidang akademik belaka, tetapi menjadi fasilitator dan advokat untuk perubahan. Kita bisa masuk dalam gagasan akademik maupun yang lebih praksis.”
Di sisi lain, Irwan Martua Hidayana, Ph.D. selaku Ketua Departemen Antropologi memaparkan, “dalam sepuluh tahun terakhir, disiplin Antropologi secara global banyak berbicara mengenai dekolonisasi. Tentu saja muncul berbagai pertanyaan. Apa peran dan konteks latar belakang sejarah sosial-politik dari antropolog dalam memproduksi pengetahuan, bagaimana etnografi seharusnya dilakukan, untuk siapa itu dihasilkan, hingga implikasi politiknya.”
“Simposium ini akan berfokus pada bagaimana Antropologi dipraktikkan dan menghasilkan karya pengetahuan mengenai Papua, transformasi keagamaan, etnohistori serta penjelasan kebudayaan dan dislokasi sosial-ekonomi,” ujar Dr. Irwan dalam sambutannya.
Sebagai pembicara utama, Dr. Pendeta Benny Giay, seorang antropolog, teolog, dan tokoh masyarakat Papua, menyampaikan pandangan tentang sejarah dan realitas Papua yang selama ini kurang terwakili secara adil dalam studi antropologi. Buku terbaru beliau, “Zakheus Pakage dan Komunitasnya: Wacana Keagamaan Pribumi, Perlawanan Sosial-Politik dan Transformasi Sejarah Orang Mee, Papua”, mendapat perhatian khusus dalam simposium ini sebagai contoh kajian antropologi yang sejalan dengan prinsip-prinsip dekolonisasi.
Simposium ini terbagi dalam dua sesi panel. Panel pertama berfokus pada peran agama dalam perubahan sosial di masyarakat adat, yang diisi oleh beberapa narasumber, yaitu Dr. Phil. Geger Riyanto dari Universitas Indonesia, Atha Bame, M.Si. dari OSA Indonesia, serta Dr. Cyprianus Jehan Paju Dale dari UW-Madison.
Panel kedua membahas pendekatan dekolonisasi metodologi dalam dialog antara sejarah dan antropologi. Panel ini dihadiri oleh Els Tieneke Rieke Katmo, Ph.D. dari Universitas Papua, Gani Ahmad Jaelani, Ph.D. dari Universitas Padjadjaran, Ester Yambeyabdi, M.Hum. dan Dave Lumenta, Ph.D. dari Universitas Indonesia.
Penutupan simposium disampaikan oleh Dr. Suraya Abdulwahab Afiff dari Universitas Indonesia, yang menekankan pentingnya simposium ini dalam membentuk agenda riset dan dialog keilmuan yang lebih responsif terhadap konteks Papua. Simposium ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam mendefinisikan ulang antropologi di Indonesia yang lebih inklusif dan membangun pemahaman yang lebih komprehensif terhadap masyarakat Papua.
Melalui inisiatif ini, FISIP UI bertekad untuk terus mendukung penelitian dan dialog yang lebih inklusif serta sensitif terhadap isu-isu lokal, khususnya terkait masyarakat Papua. FISIP UI berharap bahwa simposium ini tidak hanya menjadi ruang refleksi, tetapi juga dapat meningkatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai masyarakat Papua serta menginspirasi perubahan positif dalam kajian antropologi di Indonesia serta terciptanya kebijakan yang lebih adil dan berkesinambungan di masa depan.