Pusat Forensik Terintegritas LPPSP FISIP UI menyelenggarakan Pelatihan Pencegahan dan Penindakan Perundungan di Lembaga Pendidikan, mengingat kasus perundungan sering terjadi di lingkungan Pendidikan Indonesia. pelatihan ini di adakan selama dua hari Selasa (20/08) dan Rabu (21/08) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Pelatihan ini di ikuti oleh 103 peserta baik guru, dosen, tenaga kependidikan, pejabat publik maupun umum dari seluruh Indonesia. Para peserta diberikan materi mulai dari pagi sampai siang hari lalu dilanjutkan dengan pembahasan kasus, peserta saling sharing tentang permasalahan yang mereka hadapidan juga simulasi, peserta diajak untuk berlatih menerapkan berbagai teknik pencegahan perundungan secara riil.
Ketua LPPSP FISIP UI, Ummi Salamah mengatakan bahwa LPPSP (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik) sudah tiga kali mengadakan pelatihan perundungan. Ia berharap keterlibatan semua pihak termasuk guru, dosen, dan tenaga kependidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa maupun mahasiswa serta diperlukannya pendekatan proaktif dalam pencegahan dan penanganan perundungan di lingkungan pendidikan.
“FISIP UI merupakan fakultas di UI yang memanusiakan mahasiswa, dosen dan sivitas akademika. Di FISIP sudah tidak ada lagi perpeloncoan bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru FISIP diberikan pengenalan kampus di ruangan yang nyaman,” ujar Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dalam sambutannya.
Ia menambahkan bahwa adanya budaya yang menganggap perundungan sebagai hal biasa atau bentuk ‘pendewasaan’ di beberapa lingkungan pendidikan. “Bagian terpenting dari pelatihan ini adalah mencoba untuk kita semua sadar dan tidak menormalisasi perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai perundungan, yang sering kali dialam bawah sadar kita,” jelas Prof. Aji.
Perundungan di lingkungan pendidikan semakin sering terjadi dan berdampak negatif pada kesehatan mental serta prestasi akademik siswa maupun mahasiwa. Data dari berbagai penelitian menunjukkan peningkatan jumlah kasus perundungan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di Indonesia.
“Data pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2021-2023 dari klaster peenhn hak anak ada sebanyak 7.523 kasus dan klaster perlindungan khusus anak sebanyak 6.981 kasus,” jelas Ai Maryati Sholihah selaku Ketua KPAI.
Ciput Eka Purwati (Asisten Deputi Khusus Anak dari Kekerasan) menjelaskan bahwa di sisi lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mencatat, sebanyak 36,31% peserta didik berpotensi mengalami perundungan, 34,51% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual dan 26,9% peserta didik mengalami hukuman fisik.
Perlu adanya dukungan dari pemerintah melalui regulasi seperti UU Perlindungan Anak dan kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencegah perundungan. “Pasal 6 ayat (1) Permendikbud 46 tahun 2023 memuat bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi dan intolransi,” jelas Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum UI).
Lebih lanjut Lidwina menjelaskan, bentuk perundungan yang beririsan dengan kekerasan seksual, antara lain body shaming, pelecehan seksual fisik seperti menyentuh bagian intim korban dengan alasan bercanda kemudian biasanya diiringi dengan body shaming untuk merendahkan korban, pelecehan seksual verbal, perpeloncoan dengan kekerasan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik.
“Perundungan yang beririsan dengan kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa dan berada pada lingkungan yang mensosialisasikan kekerasan – misalnya keluarga, teman sepermainan – dianggap sebagai tradis,” ujar Lidwina.
Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi (Dosen Fakultas Psikologi UI) mengatakan, dampak perundungan pada korban menyebabkan trauma psikologis, masalah emosional dan perilaku, rasa rendah diri, hingga potensial mengalami depresi atau stress serta potensial untuk membalas dendam.
“Untuk pencegahan, perlu pendekatan yang menyeluruh, anak–guru/dosen– sekolah/universias–orangtua. Anak perlu belajar untuk memahami kelebihan dan kelemahan diri, membangun self esteem yang baik, membekali diri dengan kemampuan bersosialisasi,” ujar Prof. Rose.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Guru/Dosen dan Sekolah/Universitas perlu membuat aturan yang tegas, tidak menganggap remeh kasus tindak bullying, awasi tentang senioritas maupun organisasi“informal”serta memberikan sanksi yang berat kepada pelaku bullying. Orangtua juga perlu membekali anak untuk bisa percaya diri, kemampuan untuk menyampaikan ketidaknyamanan yang dirasakan dengan cara yang baik dan juga kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain (interpersonal).