Pilih Laman

FISIP UI menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi dengan promovendus atas nama Ronny. Disertasi ini berjudul, “Comprehensive Counter Terrorism oleh BNPT Terhadap Foreign Terrorist Fighter Dalam Konteks Pencegahan Kejahatan Terorisme di Indonesia”.

Ronny melaksanakan sidang terbuka Promosi Doktor secara daring pada Selasa (03/08). Sebagai Promotor Dr. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si dan selaku Kopromotor Dr. Iqrak Sulhin, M.Si. Ronny berhasil dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Aksi terorisme yang melibatkan Foreign Terrorist Fighter (FTF) masih terjadi di Indonesia. Foreign Terrorist Figher adalah warga negara yang melakukan perjalanan atau mencoba melakukan perjalanan ke suatu negara selain dari negara tempat tinggal atau kewarganegaraan mereka dan orang-orang lain yang bepergian atau mencoba melakukan perjalanan dari wilayah mereka ke suatu negara selain dari negara tempat tinggal atau kebangsaan mereka, untuk tujuan penganiayaan, perencanaan, atau persiapan atau partisipasi dalam, aksi teroris, atau penyediaan atau penerimaan pelatihan teroris, termasuk sehubungan dengan konflik bersenjata.

Hal ini tidak lepas dari kekalahan ISIS di Suriah yang menyebabkan para anggotanya kembali ke negara asal termasuk Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membentuk satuan tugas untuk secara khusus menangani FTF, namun dalam pelaksanaannya muncul banyak kendala sehingga tidak optimal. Ego sectoral masih menjadi kendala dalam penanganan FTF. Sehingga Collaborative Government Theory digunakan dalam menyelesaikan permasalahan FTF.

Metode Penelitian kualitatif dengan metode Delphi digunakan untuk menghasilkan Model Comprehensive Counter Terrorism yang diharapkan dapat mengurangi aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh FTF. Model Comprehensive Counter Terrorism dipimpin oleh Satuan Tugas FTF BNPT dengan anggotanya berasal dari lembaga dan kementerian terkait yaitu TNI, Polri, Kemenlu, Kemendagri, Dirjen Imigrasi, PPATK, Kemensos dan Kemenag. Kolabolasi antar instansi untuk mencapai suatu tujuan bersama dapat optimal bila bentuk koordinasi nya solid dan mendalam.

Penelitian ini ditujukan guna menjawab permasalahan penelitian yaitu meneliti Mengapa fenomena FTF masih terjadi di Indonesia dan Bagaimana penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTFs)  yang efektif di Indonesia.

Hasil penelitian ini, Laporan intelijen Satgas FTF yang dibentuk oleh BNPT merilis laporan per tanggal 12 Juni 2017, perkembangan FTF bahwa jumlah orang dewasa yang berada di Suriah dan Irak sejumlah 333 orang terdiri dari 223 orang pria dan 110 orang wanita. Jumlah anak-anak yang berada di Suriah dan Irak sejumlah 86 orang, terdiri dari pria 47 orang dan 39 orang wanita. Sedangkan WNI yang tewas di Suriah dan Irak sejumlah 88 orang terdiri dari 87 orang pria dan seorang wanita.

Terdapat orang dewasa yang belum teridentifikasi sejumlah 153 orang terdiri dari 152 pria dan seorang wanita, terdapat pula anak-anak laki-laki sejumlah 10 orang yang belum teridentifikasi, jumlah keseluruhan WNI yang berada di Suriah dan Irak termasuk yang sudah tewas adalah sejumlah 660 orang. Selain itu dilaporkan juga bahwa terdapat WNA yang diidentifikasi sebagai FTF telah masuk ke Indonesia sejumlah 15 orang laki-laki, sedangkan WNI yang merencanakan berangkat ke Suriah dan Irak sejumlah 105 orang terdiri dari 76 pria dan 29 wanita.

Model hasil Delphi merupakan model Comprehensif Counter Terrorism yang jika dilaksanakan akan memberikan dampak positif berupa menurunnya aktifitas dan aksi terorisme dari FTF. Hal ini karena ada Collaborative Government yang merupakan dasar dari lembaga negara dalam melakukan kemitraan dalam menangani permasalahan nasional dan internasional.

Pada model Delphi BNPT ditempatkan pada posisinya sebagai coordinator dari lembaga atau kementerian lain yang mempunyai tanggungjawab dalam penanganan terorisme. Dengan terlibatnya TNI dan Dirjen Imigrasi diharapkan dapat mencegah WNA yang akan menjadi FTF di Indonesia dan mencegah WNI yang akan menjadi FTF diluar negeri.

Kementerian luar negeri dapat berperan aktif dalam menjali kerjasama internasional dengan semua negara dan lembaga dalam rangka update informasi tentang perkembangan FTF, sehingga informasi yang didapat Kemenlu akan menjadi masukan dalam penanganan FTF. Untuk didalam negeri BNPT mengkoordinir Kementerian dan lembaga terkait dalam pencegahan WNI bergabung dengan FTF melalui identifikasi dan penanganan bersamasama, sehingga dapat lebih mudah dilakukan dan hasilnya akan optimal.

Terdapat lima kesimpulan dari penelitian ini yaitu

  1. Aksi terorisme di Indonesia masih terjadi dan marak WNI yang menjadi aktornya. Hal ini terjadi disebabkan meningkatnya FTF secara kuantitas dan kualitas yang berasal dari jihadis modern dan lemahnya social bonding di masyarakat.
  2. Model Comprehensive Counter Terrorism (CCT) belum dimiliki oleh BNPT dan lemahnya inter-connectivity agency badan-badan pemerintah yang mempunyai fungsi pencegahan teror dalam penanganan FTFs. Model CCT yang dimaksud mulai dari (1) cegah tangkal penanganan FTFs sejak berniat berangkat, transit menjelang masuk wilayah konflik, tiba dan bergabung dengan teroris di daerah konflik, (2) mempersulit dan memperketat akses keluar masuk dari darat laut dan udara bagi imigran illegal maupun terduga teroris, (3) membangun kolaborasi anti teror di regional dan internasional.
  3. Kerjasama dan kolaborasi multi agensi yang telah dilakukan oleh BNPT melalui MOU sudah banyak dilakukan, namun belum ada tindak lanjut monitoring dan evaluasi atas sejauh mana keefektifannya, sehingga pencegahan kejahatan terorisme menjadi longgar akibat adanya ego sektoral antar lembaga yang belum terpadu.
  4. Penanganan FTFs oleh BNPT belum komprehensif karena kelemahan pada berbagai bidang, diantaranya (1) belum memiliki struktural BNPT di daerah, (2) kolaborasi dan inter-connectivity agency badan pemerintah baru sebatas membuat MOU, (3) kondisi yang mungkin belum terpenuhi, salah satu syaratnya bahwa anggaran untuk pengembangan kurang tersedia, kelemahan pada sumber daya manusia dan teknologi.
  5. Best practice dari Singapura untuk penanganan FTF secara komprehensif ada empat aspek, yaitu (1) legislasi, penegakan hukum dan keamanan perbatasan negaranya tegas, (2) pencegahan pendanaan terorisme melalui Anti-Money Laundering and Countering the Financing of Terrorism Industry Partnership, (3) pencegahan ekstremisme dan kekerasan melalui dialog antar-agama dan antar-etnis melalui lingkaran kepercayaan antar ras dan agama dan kelompok, (4) kerjasama di forum internasional dan regional.