Reklamasi Teluk Benoa Bali dan Teluk Jakarta sama-sama menimbulkan polemik dan Retara masalah, baik pada tatanan kebijakan maupun pelaksanaan. Namun faktanya, Reklamasi Teluk Jakarta tetap berlangsung, sementara reklamasi Teluk Benoa gagal untuk dlimplementasikan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan klaim terkait kedua proyek reklamasi tersebut, yaitu pada proyek reklamasi Teluk Jakarta pemerintah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa proyek yang dijalankan akan memberikan dampak yang positif, sementara pada proyek reklamasi Teluk Benoa tidak.
Meningkatnya jumlah penduduk tiap tahun, tidak dipungkiri membutuhkan lahan untuk masyarakat tinggal. Oleh karena itu, pemerintah mencari cara untuk menangani hal tersebut, salah satunya dengan melakukan reklamasi. Bahwa reklamasi merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan sumber daya lahan maupun pelabuhan karena meningkatya jumlah penduduk. Khususnva reklamasi lahan pesisir memiliki tujuan untuk pembangunan menciptakan lahan maupun peluang urbanisasi yang cepat.
Meskipun reklamasi diklaim memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan manusia. Di sisi lain, reklamasi memberikan dampak negatif yang justru dapat menimbulkan polemik. Dampak negatif mencakup perubahan kondisi dan ekosistem wilayah pesisir dalam beberapa aspek, seperti hilangnya habitat pesisir secara masif, pengurangan jenis habitat laut, menghilangkan garis asli pantai, dan menurunkan jumlah ikan yang bisa ditangkap ole nelayan, sehingga menyebabkan perubahan kualitas hidup masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah pesisir.
Dedy Anung Kurniawan berhasil menjadi Doktor Kriminologi dari FISIP UI dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul “Fragmented Episteme dalam Implementasi Proyek Reklamasi: Studi Kasus Teluk Jakarta dan Teluk Benoa” didepan para penguji pada Kamis (5/1) di Auditorium Juwono Sudarsono.
Selaku promotor Dr. Drs. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si., kopromotor Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M.Si dan para dewan penguji Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A., Prof. Dr. Der. Soz. Drs. Rochman Achwan, MDS., serta Dr. Hadi Purnomo, S.I.K, M.H.
Penelitian ini memperjelas bahwa praktik kegiatan reklamasi merupakan bentuk dari kejahatan lingkungan dan state-corporate crime melalui perspektif kriminologi. Hal ini mengacu pada social and environmental harm yang hadir dari praktik tersebut, serta bagaimana negara dan perusahaan berkontribusi dalam mendorong praktik reklamasi. Meskipun demikian, polemik pro dan kontra mengenai reklamasi tidak berhenti begitu saja. Pada realitasnya, praktik reklamasi di Teluk Jakarta tetap berjalan sebagaimana rencana Pemerintah, namun tidak dengan praktik reklamasi di Teluk Benoa.
Akhirnya dapat dijelaskan bahwa pada kasus Teluk Benoa, proyek reklamasi berhasil digagalkan karena keberadaan social power lebih kuat dibandingkan dengan outcome power. Pada tataran pengetahuan, masyarakat meyakini bahwa proyek reklamasi hanya memiliki dampak negatif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar, yang diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat Teluk Benoa. Solidaritas bersama tercipta melalui kesamaan keyakinan atas nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat di wilayah reklamasi Teluk Benoa dan begitu pula Provinsi Bali secara umum.
Sebaliknya, pada kasus Teluk Jakarta proyek reklamasi tetap berjalan sebagaimana yang direncanakan, karena keberadaan outcome power lebih kuat dibandingkan dengan social power. Penguasa dan kapitalis berhasil mempolitisasi pengetahuan yang sesungguhnya dengan memproduksi wacana berdasarkan klaim kebenaran mereka serta menghadir kontra narasi dengan membenturkan isu yang berbeda. Di sisi lain, solidaritas di dalam masyarakat Jakarta sangatlah lemah. Hal ini dikarenakan karakteristik dari masyarakat Jakarta cenderung heterogen.
Hasil dari temuan di atas kemudian meruntuhkan pandangan radikal kriminologi yang melihat perjuangan kelas dalam konflik kelas akan selalu menempatkan kelas elite sebagai pihak yang diuntungkan. Keadaan tidak akan berubah selama tidak penggulingan sistem kapitalis tersebut.
Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan bahwa adanya klaim kebenaran atau episteme yang dipengaruhi oleh kuasa dan pengetahuan, ternyata tidak hanya berlaku pada era tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Foucault. Pada era yang sama, dimungkinkan adanya perbedaan episteme antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama pada empat aspek, yaitu sosial, budaya, hukum dan ekonomi. Episteme yang berbeda yang muncul karena adanya empat aspek pengetahuan tersebut merupakan suatu kondisi yang disebut sebagai fragmented episteme.
Penelitian ini pada akhirnya, memberikan pengayaan pandangan terhadap Kriminologi Radikal dan konsep episteme-nya Foucault. Khususnya terkait episteme, pengayaan dalam penelitian ini adalah dengan mengkonstruksikan konsep episteme yang dikemukakan oleh Foucault dengan melihat adanya fragmentasi nilai sosial, ekonomi dan budaya, dalam reklamasi yang terjadi di Teluk Benoa dan Teluk Jakarta, sehingga menghasilkan konsep fragmented episteme.