Rudy merupakan antropolog yang mengembangkan pendekatan jaringan sosial. Pendekatan jaringan sosial dalam antropologi beserta kritiknya. Apabila antropolog hanya melihat sesuatu yang abstrak seperti halnya kebudayaan, maka ia tidak mampu bergejolak pada kehidupan empiris manusia yang terjadi di kehidupan manusia setiap harinya. Dalam hubungan sosial interaksi dalam keseharian menjadi penting untuk melihat jaringan sosial, tentang sesuatu yang dimanipulasi, berusaha dihilangkan atau bahkan dipertahankan. Jaringan yang mengikat hubungan individu. Ruddy ikut menjadi anggota Wantimpres, sehingga seringkali pergi ke berbagai wilayah di Indonesia. Dia juga merupakan seorang antropolog yang cinta tanah air dan kepekaan kepada fenomena sosial melalui pengamatan-pengamatannya. Selain itu Ruddy merupakan alumnus FISIP UI 1983 serta pengajar di Antropologi, FISIP UI dan PTIK; Direktur Operasional di Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS) dan Institut Antropologi Indonesia (IAI). Peneliti ahli di Dewan Pertimbangan Presiden bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Kolumnis di sejumlah media massa nasional Demikian pengantar dari Prof. Dr. Meutia Hatta, M.Si., dalam acara Hari Apresiasi bagi Ruddy ‘Kipam’ Agusyanto. Kegiatan ini teridiri dari Seminar dan Diskusi Buku karya dari Ruddy ‘Kipam” Agusyanto.
Menurut Dr. Semiarto Aji Purwanto, M.Si., Signifikansi Ruddy dalam konteks perkembangan Antropologi. Menentukan arah angin posisi cendikiawan. Proses melihat secara umum ke khusus. Siapa cendikiawan itu sebenarnya? Kaum intelektual itu siapa? Dari mana ia berasal? Tiba-tiba orang dengan mudah mengidentifikasikan ia cendikiawan, ia ilmuwan? Inilah yang nanti akan dibahas dalam diskusi ini tentang posisi Ruddy sebagai akademisi dan penulis. Secara khusus akan membahas bukunya yang terakhir, Budaya Sontoloyo. Dulu generasi saya sangat akrab dengan kata sontoloyo, identik dengan Pak Parsudi Suparlan. Kini sontoloyo identik dengan Ruddy 2010.
Saya mau ambil contoh yang dibuat Ruddy dengan buku Budaya Sontoloyo, saya yakin buku ini sangat menarik mengingat posisinya sebagai antropolog. Data-datanya berkontribusi dalam mengembangkan analisis jaringan sosial, mengajar di kampus-kampus besar dan menawarkan penjelasan-penjelasan akademik dan praktik.
Penjelasan-penjelasan tersebut ditawarkan dalam buku Budaya Sontoloyo. Sungguh menarik ketika melihat posisi dia dalam buku ini. Buku ini paling tidak menawarkan tiga hal, atau tiga persoalan yakni hubungan antara nature, culture, welfare , jarang sekali yang berdebat tentang tiga hal ini dalam satu skema yang sama, kebanyakan antropolog berhenti pada nature and culture, kemudian social and economic inequality, menjadi salah satu hal yang penting, karena bukan melihat dalam kontek sosial ekonomi dan politik, melainkan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan dan environment issue –masalah-masalah subtropics yang ia angkat.
Ia menawarkan tesis yang menarik, bukan oposisi antara timur-barat, kaya-miskin, akan tetapi bukan itu permasalahan di Indonesia, sumber masalahnya adalah tropis dan non tropis. Ketika para ilmuan melihat dikotomisasi yang sebenarnya salah, Ruddy malah mengatakan memang perlu adanya dikotomisasi antara Tropis dan Non tropis. Menurutnya Tropis adalah kondisi yang ideal, karena semua sumber kehidupan berada dalam kondisi Tropis, wilayah khatulistiwa. Dengan kondisi yang ideal seharusnya dapat kaya raya, sehingga dengan kondisi demikian banyak yang menyerbunya, menjadi daerah sasaran. Akan tetapi salah mengurusnya, para pengurusnya tidak tahan dengan serbuan itu, belum kuat pertahanannya. Kondisi Tropis yang ideal ini diurus dengan cara yang sontoloyo atau terkena sindrom sontoloyo sehingga menghasilkan budaya yang sontoloyo. Apabila dari awal diurus dengan sontoloyo dan melegalkan segala kesalahan maka hasilnya juga akan sontoloyo.
Posisi Ruddy, dia sebagai cendikiawan adalah ia berada dikampus tetapi bukan bagian formal dari kampus itu sendiri, sehingga ia berada di dekat lingkaran dalam, mudah ke luar. Ia lebih tidak terbebani nama lembaga, kaidah kaku akademik, melainkan ia setara seperti Cak Tarno Institute, ekuator, meja bundar takor dan lain sebagainya. Artinya ia lebih bebas, tidak terikat pada institusi, tetapi keilmuan nya tetap berjalan beriringan.Oleh karena itu, ia seperti yang diungkapkan Rendra. Berumah di atas angin, sesekali turun melihat-lihat situasi di bumi. Menghembuskan udara segar… kipas api biar membakar.. bawa mendung biar hujan.. Menentukan sendiri arah akan beranjak. Seakan-akan tidak ada lagi antropolog yang dapat mengganti posisinya.Semoga lekas sembuh Ruddy ‘Kipam’ Agusyanto.(Himpunan Mahasiswa Antropologi-FISIP UI)