Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan gagasan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Apakah hukuman kebiri adalah solusi cerdas? Apakah dengan adanya hukuman kebiri tidak akan ada lagi kejahatan seksual?
Inilah yang menjadi tema dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Departemen Kriminologi FISIP UI bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Mengusung judul Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual: Menambah atau Menyelesaikan Masalah? , acara ini berlangsung di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP UI, pada Kamis (5/11/2015).
Hadir sebagai narasumber dari berbagai latar belakang antara lain Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Departemen Perlindungan Anak Kementerian Sosial RI, Edi Suharto., Ph.D., Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ir. Agustina Erni., M.Sc., Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto., M.A., Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin., M.Hum., dan Guru Besar Departemen Kriminologi FISIP UI, Prof. Dr. Muhammad Mustofa., M.A., serta Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, Dr. Ida Ruwaida sebagai moderator.
Ida memaparkan mengenai latar belakang terselenggaranya diskusi ini dengan harapan akan menemukan solusi dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. “Diskusi ini akan berjalan pada tataran solusi, karena jika berbicara data tentu sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terindikasi meningkat setiap tahunnya,” kata Ida diawal diskusi. Lebih jauh Ida mengungkapkan bahwa kita akan berdiskusi mengenai intervensi struktural yang setidaknya bisa mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Selanjutnya Edi memaparkan data hasil temuan survei Kementerian Sosial pada 2013. Berdasarkan data tersebut, satu dari sembilan belas anak perempuan Indonesia—usia13-17 tahun—telah mengalami kekerasan seksual dengan jumlah sekitar 600.000 anak. Ia memaparkan berdasarkan data, kekerasan seksual terhadap anak paling banyak terjadi di dalam rumah dan sekolah serta mayoritas dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban.
“Pola perlindungan anak yang berbasis masyarakat, yaitu masyarakat ikut terlibat dalam perlindungan anak di wilayahnya masing-masing perlu dijadikan sebagai fokus utama,” ungkap Agustina Erni. Ia juga mengatakan bahwa Saat ini akses pornografi melalui internet di Indonesia sangat memprihatinkan. Sebuah temuan penelitian menunjukkan, angka penyebaran tertinggi pornografi di dunia sosial media adalah melalui twitter. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang mendorong pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak selain dari faktor gangguan mental, gaya hidup, lingkungan, dan sebagainya.
Terkait hal tersebut, Susanto memberikan pandangan bahwa hukuman kebiri dirasa perlu diterapkan untuk menimbulkan efek jera. Penerapan hukuman ini tentu saja dengan beberapa catatan seperti misalnya pelaku memiliki libido seks yang tidak bisa dikendalikan hingga merugikan orang lain. Susanto menambahkan, di beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri juga memiliki motif yang berbeda. Misalnya di Amerika, hukuman kebiri dilakukan dengan pengobatan bagi mereka yang memiliki libido seks yang tinggi dan tidak terkontrol. “Ada juga negara-negara yang memang sengaja menerapkan hukuman kebiri ini dengan motif sebagai penghukuman.Akhirnya tinggal bagaimana Indonesia menerapkan hukuman kebiri ini, sebagai rehabilitasi atau penghukuman?”, kata Susanto.
Prof. Mustofa memberikan gambarannya bahwa masyarakat tidak bisa hanya mensosialisasikan norma ideal yang berlaku. Namun dibutuhkan pula fasilitas-fasilitas untuk mengupayakan norma tersebut di masyarakat. Hingga ia berpendapat hukuman kebiri bukanlah langkah yang pas untuk menyelesaikan masalah. Bahkan hal itu layaknya ‘kekerasan dibalas dengan kekerasan.’ Ia menambahkan lemahnya pengendalian sosial masyarakat mengenai tingkah laku seksual juga menjadi penyebab maraknya kasus pemerkosaan. Dampak negatif konten program acara di televisi yang menanyangkan muatan-muatan tidak mendidik dan cenderung memberikan contoh perilaku negatif pun ikut berperan dalam kasus ini. Selain itu, masih adanya keengganan orang tua untuk memberikan pendidikan seks pada anak sejak usia dini juga dapat memicu ketidakwaspadaan anak saat bertemu dengan orang yang memiliki niat jahat pada dirinya.
Di akhir acara, Ida mengungkapkan bahwa dikusi ini bukanlah sebuah forum debat. Ia menekankan, forum ini adalah wadah pertukaran informasi yang nantinya diharapkan dapat melahirkan solusi-solusi yang mampu membantu penyelesaian masalah kekerasan seksual. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, dosen, aktivis, hingga perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang perlindungan perempuan dan anak.