Dalam rangka menyambut HUT ke-60, Departemen Kriminologi FISIP UI menggelar acara simposium Pemolisian Komunitas di Indonesia dan di Jepang pada Rabu, (31/8). Program diisi dengan serangkaian diskusi panel yang menghadirkan panelis dari berbagai stakeholders. Salah satu diskusi panel yang digelar mengangkat tema mengenai bagaimana pengaruh pemolisian Jepang terhadap pemolisian Indonesia dan sebaliknya?
Dalam diskusi panel tersebut, ditegaskan bahwa hubungan kerja sama antara kepolisian Indonesia dan Jepang telah terjalin untuk waktu yang lama. Salah satu bentuk kerja sama adalah upaya untuk mendorong praktik pemolisian masyarakat (Polmas) di Indonesia. Polmas atau pemolisian komunitas (community policing) sendiri merupakan salah satu bentuk pemolisian yang dikedepankan oleh POLRI saat ini.
Praktik ini mengedepankan keterlibatan masyarakat untuk mengurangi angka kejahatan dan ketakutan terhadap kejahatan. Koordinator program JICA Anzai Toshiya menyatakan, tentunya Jepang sangat berharap adanya peningkatan kualitas implementasi pemolisian masyarakat di Indonesia melalui kerja sama antara kedua negara ini.
Namun Anzai juga menegaskan perlunya penekanan terhadap beberapa hal dalam implementasi Polmas di Indonesia, salah satunya evaluasi. “Evaluasi terhadap kegiatan petugas di lapangan mempengaruhi motivasi yang bersangkutan, lalu itu terkait langsung dengan kualitas kinerja kerjanya,” ujar Anzai.
Sementara itu, Kriminolog FISIP UI Prof. Adrianus Meliala menyatakan, banyak hal yang perlu diperbaiki dari implementasi Polmas di Indonesia. Minimnya anggaran, SDM hingga peralatan dalam setiap program-program Polmas di Indonesia, merupakan hambatan-hambatan yang memerlukan solusi segera.
Lebih lanjut Guru Besar Kriminologi itu mengatakan, Jepang sebagai sahabat Indonesia sangat konsisten memperkenalkan konsep community policing karena dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah membantu POLRI dalam rangka reformasi kepolisian maka Jepang sangat konservatif dan harapannya community policing bisa berlaku di Indonesia.
Ia mengatakan bahwa menjadi penting untuk melihat kembali sejauh mana POLRI telah mengambil ide dari community policing dan memakainya sebagai suatu praktek atau kegiatan, contohnya seperti Bhambinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) yang dibentuk dengan empat puluh ribu personel di seluruh wilayah Indonesia.
Namun di sisi lain fungsi kepolisian lainnya yang vital, model perpolisian non-community yang juga diperkuat seperti Korbrimob yang bertugas menanggulangi ancaman ketertiban dan keamanan masyarakat yang berintensitas tinggi, Prof. Adrianus menyatakan, bahwa Bhambinkamtibmas yang masih melangami kekurangan personel dikarenakan harus mengurusi empat sampai lima desa dengan motor dan bahan bakar seadanya, seharusnya jika memulai suatu program maka dilengkapi sarana dan prasarananya gara dapat bekerja dengan baik.
Terkait dengan implementasi Polmas ini Yundini Husni, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian RI juga mengatakan, kepolisian RI seyogianya bisa memanfaatkan peluang kerja sama Jepang ini dengan sebaik-baiknya. Yundini juga berharap agar program yang baik ini tidak hanya direspons di awal, tapi juga bisa terus berlanjut dan dilakukan secara serius dan konsisten.
Dari pihak kepolisian yang diwakili oleh Wakapolres Jakarta Barat Bismo Teguh Prakoso, dinyatakan bahwa implementasi Polmas sudah berjalan baik di wilayahnya. Melalui kombinasi implementasi community policing serta problem oriented policing, Bismo meyakini cara ini bisa efektif dalam mengurangi angka kejahatan dan ketakutan akan kejahatan. Bismo juga mengatakan, untuk mengatasi angka kejahatan, pihaknya melakukan pendekatan berbasis nilai-nilai budaya. Hal ini penting dilakukan terlebih saat harus menghadapi masyarakat yang sifatnya heterogen.
Disunting dari: https://edukasi.sindonews.com/read/872121/211/implementasi-polmas-di-indonesia-masih-butuh-pembenahan-1661940484