Depok, 10 Januari 2024 – Selaku ketua sidang, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Selaku promotor, Prof. Amir Santoso, M.Soc.Sc., Ph.D dan kopromotor, Prof. Dr. Lili Romli, M.Si beserta Meidi Kosandi, S.I.P., M.A., Ph.D. Serta para dewan penguji, Prof. Dr. Herman Hidayat, Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A., Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D.
Grevilma Kurniati Pertiwi dengan judul disertasi “Implementasi Kebijakan ISPO dan Konflik Agraria: Studi Kasus Konflik Perkebunan Sawit di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tahun 2011 – 2020”.
Disertasi ini berangkat dari konflik agraria yang banyak terjadi di berbagai negara di dunia, salah satunya Indonesia. Konflik di sektor agraria yang merupakan fenomena global ini pada umumnya didominasi oleh permasalahan sosial politik antara kepentingan bisnis yang dimiliki oleh para pemodal besar dan dukungan oleh pemerintah yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat lokal dan petani kecil yang telah lama mendiami wilayah asli dan hidup dengan cara-cara tradisional.
Konflik agraria merupakan konflik yang berkepanjangan terhadap klaim atas tanah, sumber daya alam, wilayah milik penduduk dengan korporasi atau entitas bisnis besar yang terlibat dalam sektor infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi dimana pihak-pihak yang berselisih bertindak secara langsung ataupun tidak langsung untuk menghilangkan klaim dari orang lain.
Disertasi ini fokus pada konflik agraria yang terjadi di Indonesia yang sudah berlangsung sejak zaman kolonial dan masih terus berjalan hingga saat ini. Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang mengalami peningkatan dalam jumlah konflik masalah pertanahan.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA 2022), jumlah konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun 2015 – 2022 meningkat sekitar 60% dibandingkan dari sepuluh tahun sebelumnya (tahun 2004 – 2014). Perkebunan, termasuk perkebunan sawit, menyumbang kontribusi tertinggi pada masalah konflik agraria.
Penelitian ini mengkaji peningkatan konflik agraria di perkebunan sawit setelah implementasi kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tahun 2011-2020. Tujuan ISPO untuk mengatur pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam praktiknya tidak terlepas dari potensi konflik lahan akibat terjadinya tumpang tindih perizinan.
Persoalan yang ditimbulkan oleh ISPO adalah semakin maraknya pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan sawit pihak swasta yang sering menimbulkan konflik dengan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Konflik-konflik yang terjadi tersebut menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat seperti yang terjadi di masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau.
Temuan dalam penelitian ini adalah perlawanan masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau kepada PT. Mitra Austral Sejahtera (PT. MAS) lebih efektif dilakukan dengan resistensi tertutup dibandingkan resistensi terbuka karena implementasi resistensi tertutup dengan melaporkan PT MAS kepada RSPO dan lembaga internasional lainnya oleh TuK Indonesia selaku perwakilan masyarakat adat Dayak di Sanggau berujung keluarnya PT MAS dari Kabupaten Sanggau pada tahun 2020.
Aspek kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, yaitu strategi perjuangan yang dilakukan secara terbuka awalnya kemudian bertransformasi menjadi strategi resistensi tertutup seperti mulai membangun upaya mediasi dengan pemerintah daerah dan perusahaan. Selain itu perjuangan masyarakat adat juga didukung advokasi LSM baik lokal, nasional dan internasional, yang secara efektif dapat membangun atensi publik nasional dan internasional.
Masyarakat adat Dayak di Sanggau juga berinisiatif mengorganisasikan diri ke dalam wadah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang dimungkinkan terwujud sebab telah terdapat basis jaringan sosial dan komunitas yang sebelumnya memiliki pengalaman baik dalam konflik agraria maupun pendampingan dan mobilisasi sumber daya serta fasilitasi masyarakat (pengorganisasian) yang sangat dipengaruhi oleh faktor peran elit aktor dan jejaring eksternal
Penulis meyakini bahwa Peran LSM Indonesia sangat besar dalam membangun momentum untuk mencapai tujuan perjuangan petani dalam merebut kembali lahan adat. Puncaknya resistensi terus menerus oleh masyarakat adat menghasilkan perubahan dimana Perusahaan PT MAS memutuskan untuk tidak melanjutkan kembali operasional perkebunan sawit dan keluar dari lahan adat di Kabupaten Sanggau pada tahun 2020.