Depok, 5 Januari 2024 – Erni Rahmawati telah sah menjadi Doktor Kriminologi FISIP UI ke-42 dengan predikat cumlaude, mengangkat judul disertasi “Integrated Remedy System Sebagai Bentuk Dan Sistem Baru Realisasi Pemulihan Korban Kesalahan Proses Peradilan Pidana Di Indonesia.” Promosi doktor Erni dilaksanakan pada Jumat (5/1) di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.
Selaku ketua sidang promosi doktor, Prof. Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, Ph.D. Selaku promotor, Dr. Drs. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si dan kopromotor, Dr. Dra. Vinita Susanti, M.Si. Serta para dewan penguji, Dr. Zakarias Poerba, M.Si., Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si., dan Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si.
Disertasi ini menunjukkan gagalnya negara dalam menjalankan due process of law karena bentuk dan sistem realisasi pemulihan saat ini telah menghambat korban mendapatkan haknya. “Karena itu, saya ingin menemukan bentuk dan sistem yang dapat menjamin berjalannya realisasi pemulihan bagi korban kesalahan proses peradilan pidana,” ujar Erni.
Dalam studi ini, Erni menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggambarkan realitas yang ada dengan analisis deduktif. Informan dipilih berdasarkan pengetahuan yang dalam mengenai permasalahan pemulihan korban kesalahan proses peradilan pidana.
Erni menjelaskan bahwa data primer didapatkan dari hasil wawancara tidak terstruktur pada para praktisi dan akademisi, menggunakan pedoman wawancara, sedangkan data sekunder diapat dari penelusuran data sekunder menggunakan pedoman penelusuran data sekunder. Analisis teoretis dilakukan dengan menggunakan empat teori.
Teori kejahatan negara digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam bentuk dan sistem realisasi pemulihan bagi korban kesalahan proses peradilan pidana saat ini. Sedangkan, teori pertukaran sosial, teori kontrak sosial, dan teori implementasi kebijakan digunakan untuk menemukan bentuk dan sistem baru realisasi pemulihan korban kesalahan proses peradilan pidana.
Hasil analisis mendapatkan usulan tentang bentuk dan sistem baru yang penulis namakan “Integrated Remedy System” (Sistem Pemulihan Terintegrasi). Yaitu, sistem yang terintegrasi dan koordinatif antar lembaga terkait dalam kerjasama untuk menyelesaikan proses turunnya pemulihan korban.
Erni mengatakan, bentuk pemulihan yang diusulkan adalah kompensasi, rehabilitasi (fisik, psikologis, dan pemulihan nama baik), serta kemungkinan dilakukannya restitusi. Bentuk dan sistem baru ini mengakui dua jenis kerugian korban, yaitu: kerugian materil yang terkait dengan dampak ekonomi dan; dampak kehilangan pekerjaan, serta kerugian non materil, yang terkait dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak kehilangan harga diri.
“Dengan demikian, bentuk pemulihan materil akan terkait dengan kerugian materil dan non materil yang diperhitungkan secara finansial, sedangkan bentuk pemulihan non materil terhubung dengan kerugian non materil. Bentuk dan sistem baru ini juga menjamin adanya sanksi bagi aparat Sistem Peradilan Pidana pelaku kesalahan proses peradilan pidana agar bentuk dan sistem baru ini berjalan optimal,” ujarnya lebih lanjut.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa simulasi atas tiga kasus menggunakan “Sistem Pemulihan Terintegrasi” menemukan: dua kasus berhasil mendapatkan pemulihan, sedangkan satu kasus tidak berhasil mendapatkan pemulihan. Kegagalan kasus ketiga terkait dengan semangat yang mirip dengan “Semangat Jiwa Korsa” antar Sistem Peradilan Pidana yang memunculkan kesalahan proses peradilan pidana dan ego-sektoral antar lembaga negara dalam realisasi pemulihan yang menghambat implementasi kebijakan yang sudah ada.
Saran jangka pendek adalah usulan bagi negara untuk membuat revisi kebijakan yang menyertakan korban kesalahan proses peradilan pidana sebagai subjek perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Saran jangka menengah adalah usulan pembuatan undang-undang yang melihat institusi Sistem Peradilan Pidana sebagai pelaku kesalahan proses peradilan pidana disertai dengan sanksi hukumnya. Saran jangka panjang adalah pentingnya negara dan Sistem Peradilan Pidana memiliki pemahaman filosofis mengenai hukum tata negara yang mengakui bahwa negara dapat melakukan kejahatan negara terhadap rakyatnya.