Keyza Widiatmika, Alumni dan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI menuliskan artikel di kolom Kompas.com yang berjudul “Aldi Taher dan Alienasi Politik”.
PUBLIK punya hiburan baru di tengah kepenatan terhadap Pemilu 2024 yang masih diisi oleh politikus yang sama dengan periode lalu. Penghiburnya adalah Aldi Taher, selebritas yang saat diwawancarai TV One terkait alasannya maju lewat dua partai sebagai bakal calon legislatif (bacaleg), yaitu DPRD-DKI Jakarta dari PBB dan DPR RI dari Partai Perindo, memberi jawaban-jawaban konyol. Aldi dengan polos mengakui kebingungannya mengapa dia maju di dua partai.
Dia malah bertanya balik ke presenter tv, “Memang, Mbak, enggak bingung? Semua manusia di muka Bumi ini bingung, Mbak. Nanti enggak bingung kalau sudah di surga.” Aldi menjawab hampir semua pertanyaan secara ignoratio elenchi, yakni mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya sedang dibahas. Saat ditanyakan motivasinya menjadi wakil rakyat, dia menjawab enteng bahwa dirinya ingin membaca Al Quran di Senayan. Bagi Aldi, membaca Al Quran adalah solusi.
Rekaman wawancara itu kemudian ramai di jagad maya. Banyak yang meresponnya dengan tawa, banyak pula yang terang-terangan memberi dukungan sepenuhnya meski cukup terlihat satirnya. Seruan “All in Aldi Taher” kemudian dilontarkan sebagai representasi dari alineasi politik oleh masyarakat Indonesia.
Alienasi politik berarti perasaan terasing, putus asa, juga kecewa terhadap sistem politik. Hal ini bisa diakibatkan oleh diabaikannya keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan yang nantinya akan memengaruhi kehidupan mereka. Publik juga merasa bahwa pemerintah tidak mewakili kepentingan mereka dan tidak berfungsi secara efektif.
Jika mengingat hasil survei Strategic and International Studies (CSIS) pada 2022, alienasi politik itu harusnya tidaklah mengherankan. Survei tersebut menunjukkan, minat anak muda Indonesia terhadap politik rendah. Dari seluruh responden, hampir setengahnya menobatkan DPR sebagai lembaga yang tak layak dipercaya. Padahal, mimpi mengubah sistem dari dalam sudah jadi janji yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Jika mengubah sistem dari dalam dirasa gagal, maka terbesitlah pandangan untuk sekalian menghancurkannya dari dalam. Warganet bahkan melabeli Aldi sebagai “orang gila”, dan menganggap bahwa dunia yang penuh kegilaan ini pantas dipimpin olehnya. Sementara itu, Aldi sedang bermain peran. Dia tahu bagaimana cara mencuri sorotan publik di tengah kepenatan politik. Namanya kian populer dan banyak penggemar.
Dampak dari Alienasi Politik
Namun, apabila Aldi memenuhi syarat dan lolos sebagai caleg, alienasi politik ini akan mendatangkan konsekuensi yang cukup besar. Pertama, Aldi yang menyampaikan bahwa dia tidak tahu apa yang ingin diperjuangkan ketika menjadi anggota dewan, sebenarnya telah mengalihkan kita dari isu-isu yang lebih esensial.
Dalam dua hari sejak diwawancara TV One, interest over time Aldi Taher di Google Trends breakout ke angka 100, dengan 15 topik terkait tertinggi yang semuanya mencapai breakout. Topik-topik tersebut meliputi Partai Perindo, hingga lagu Yellow oleh Coldplay karena Aldi tiba-tiba menyanyikan lagu ini setelah salam pembuka. Dalam perbandingan dengan isu trending lainnya, misal pada pencarian terkait Mario Dandy, terdakwa kasus penganiayaan terhadap D, grafik menunjukkan keadaan sebaliknya. Pencarian terkait Mario Dandy yang sebelumnya berada di atas Aldi Taher disalip hanya dalam hitungan hari.
Padahal, saat itu warganet geram akibat beredarnya video Mario memasang borgol kabel ties sendiri, terlebih dikonfirmasi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko telah melalui proses editing. Dibandingkan dengan penilaian masyarakat terhadap Mario yang seolah mendapat perlakuan istimewa dari pihak kepolisian, Aldi Taher mampu mendominasi trending. Kedua, jika Aldi terpilih, bukan tidak mungkin dia akan melakukan buck passing. Dalam politik, hal ini merujuk pada pengalihan tanggung jawab atas konsekuensi keputusan kebijakan dan menyalahkan orang atau lembaga lain sebagai gantinya. Banyak politisi menggunakan taktik licik ini untuk menjaga popularitas, menghindari kritik, dan mengalihkan perhatian dari kegagalan kepemimpinannya.
Aldi secara verbal meminta agar masyarakat tidak memilihnya, dan itu disampaikan berulang kali dalam wawancara-wawancara lain setelahnya. Apabila masyarakat yang dalam keadaan sadarnya memilih orang yang tidak ingin dipilih, maka sebaiknya jangan menaruh harapan besar untuk sebuah pertanggungjawaban. Ketiga, bahaya terbesar adalah ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Keputusasaan publik terhadap lembaga negara dan politikus dapat memicu konflik sosial, ketegangan politik, hingga aksi massa.
Hal itu jelas akan menghambat stabilitas negara. Ketidakstabilan politik ini juga berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, seperti terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah, peningkatan inflasi, dan ancaman ketidakstabilan sosial
Acara Gelar Pamit Misi Budaya 2023 diselengarakan pada Selasa malam (30/05) pukul 18.30 di Gedung Kesenian Jakarta. Sebelum perwakilan KTF UI Radha Sarisha pergi sebagai kontingen misi budaya pergi ke Festival Du Sud di Eropa (Prancis dan Spanyol), mereka berpamitan menampilkan karyanya yang akan dibawa ke misi budaya nanti.
Gelar Pamit 2023 membawakan pagelaran berjudul “Larung” dalam bentuk sendratari (seni drama dan tari). Melalui tema besar “Taste of Indonesia”, Gelar Pamit 2023 bertujuan memberkenalkan kekayaan budaya Indonesia.
Larung bercerita soal perjalanan Pramadana sepanjang nusantara untuk mencari Ibunya. Sehingga pada akhirnya, “Ibu” yang dicari oleh Pramadana tidak terikat pada satu Konsep tertentu. Kisah ini menceritakan pencarian Pramadana akan sesuatu yang dia cintai untuk merawatnya, menjaganya, menemani, juga menginspirasi.
Komunitas Tari FISIP UI (KTF UI) Radha Sarisha adalah komunitas profesional berbasis mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. KTF UI Radha Sarisha bertujuan untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswa FISIP UI di bidang seni tari, baik tari tradisional maupun modern, serta seni musik. Didirikan pada tahun 2008, KTF UI Radha Sarisha memiliki banyak pencapaian mulai dari produksi pertunjukan, kompetisi, dan misi budaya.
Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto yang turut hadir dalam pagelaran tersebut mengatakan, medukung penuh KTF UI Radha Sarisha berpartisipasi dalam International Folklore Festivals “Du Sud” Tour yang akan diadakan di Perancis dan Spanyol tahun ini.
“Kegiatan seni dan olahraga selalu didukung oleh fakultas. Kegiatan ini merupakan salah satu dari kegiatan mahasiswa yang patut di apresiasi karena melalui kegiatan seperti ini mahasiswa menjadi produktif dan senang untuk datang kekampus. Selain kampus tempat belajar juga sebagai tempat mengaktualisasikan segala bakat dan minat diluar akademis,” ujar Prof. Aji dalam sambutannya.
Oliv mengatakan, KTF Radha Sarisha menampilkan menampilkan enam tarian yaitu Tari Rampak Gendang khas Jawa Barat, Tari Kembheng Malate dari Madura, Tari Taruni dari Jawa Timur, dan Tari Pia Baine dari Tana Toraja, Sumatra Barat ada Tari Coga sampai dari Papua ada Tari Mambri.
Kontingen terpilih berjumlah 34 anggota yang terbagi ke dalam 4 tim penari dan 1 tim pemusik. “Untuk menjadi kontigen terpilih yang akan berangkat dan mewakili itu ada audisinya. Audisi menari dan ada wawancaranya juga,” jelas Olivyolanda Liana Sianturi selaku Ketua Pelaksana kegiatan tersebut saat diwawancarai oleh reporter Humas FISIP.
Tahun ini KTF UI Radha Sarisha berpartisipasi dalam International Folklore Festivals “Du Sud” Tour yang akan diadakan di Perancis dan Spanyol pada bulan Juli-Agustus. Dengan keterlibatannya tersebut, KTF UI Radha Sarisha mempersembahkan Gelar Pamit 2023, pementasan tarian dan musik yang akan dibawa ketika misi budaya.
Belakangan dunia perpolitikan Indonesia sedang ramai oleh isu Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengubah sistem Pemilu dari coblos nama caleg menjadi coblos gambar partai atau sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka akan kembali ke sistem proporsional tertutup. Isu tersebut pertama kali di informasikan ke publik oleh Denny Indrayana melalui akun twitternya pada hari Minggu (28/05).
Dosen Ilmu Politik FISIP UI, Dr. Sri Budi Eko Wardani, S.IP., M.Si atau yang biasa disapa dengan panggilan mba Dani menjelaskan bahwa sejak Pemilu pertama tahun 1955 sampai saat ini menganut sistem Pemilu proporsional, pertimbangannya karena keragaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang kecenderungannya memiliki banyak partai sehingga sistem proporsional dianggap tepat.
Jadi apa sebenarnya perbedaan sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup?
Sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif. “Kelebihan dari sistem ini memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif (caleg) yang dipilih, lalu dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, namun dalam sistem tertutup aspirasi elite partai yang menentukan,” ujar Wardani saat ditemu oleh reporter Humas FISIP pada Rabu (31/05) di Departemen Ilmu Poltik.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja, ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak ada di surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.”
Apakah ada dampak jika sistem Pemilu Indonesia menggunakan proporsional tertutup kembali?
Perdebatan tentang isu ini setiap revisi Undang-Undang Pemilu selalu ada, seperti tahun 2017 lalu, ada kelompok yang pro sistem proporsional tertutup ada juga yang pro sistem proporsional terbuka.
“Tapi menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan ditengah jalan tunggu saja Pemilu tahun 2029 dengan revisi UU Pemilu, karena saat ini kan situasinya daftar caleg sudah masuk ke KPU maka akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang tidak sebanyak caleg laki-laki,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan sistem Pemilu proporsional terbuka caleg perempuan bisa bersaing dengan peluang 22% terpilihnya, namun jika menggunakan proporsional tertutup maka peluangnya sedikit karena belum tentu caleg perempuan ada di nomor urut awal. “Jadi kalau partai hanya dapat satu kursi dan nomor urut satu nya laki-laki maka bisa jadi nanti laki-laki semua yang menjadi dewan legislatif.”
Lalu kenapa Indonesia akhirnya memilih sistem Pemilu proporsional terbuka?
Karena pada masa orde baru (orba), sistem Pemilu mengunakan proporsional tertutup sehingga ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa caleg yang akan terpilih. Selama orde baru, partai tidak terbuka, merasa tidak punya kewajiban untuk mempublikasikan caleg nya. Jadi sistem Pemilu proporsional terbuka dilakukan untuk mengurangi mobilisasi dan dominasi dari partai tertentu seperti yang sudah terjadi di jaman orba.
“Saya pribadi melihat sistem Pemilu proporsional terbuka masih penting saat ini, untuk mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sekarang sangat kuat dan bisa meminggirkan kandidat caleg yang punya potensi. Jadi dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini dari sisi kepemberdayaan pemilih didalam menentukan pilihannya maka kedaulatan rakyat itu ada di sistem proporsional terbuka,” jelas Wardani.
UI Open Days adalah acara yang diadakan oleh Universitas Indonesia (UI) untuk memperkenalkan fakultas-fakultas yang ada di kampus UI kepada calon mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam acara ini, calon mahasiswa dapat mendapatkan semua informasi tentang program studi, fasilitas kampus, biaya kuliah, beasiswa, serta kesempatan lain yang ditawarkan oleh UI.
Acara ini merupakan acara yang bertujuan untuk memberikan informasi terkait program pendidikan yang ada di UI dengan menghadirkan 14 fakultas, 1 program pendidikan vokasi serta 2 sekolah interdisiplin.
FISIP menjadi salah satu fakultas yang membuka booth dalam UI Open Days tahun ini di Balairung dan Balai Sidang UI (untuk kelas khusus internasional) selama dua hari mulai Sabtu (27/05) sampai Minggu (28/05) dan menjadi yang pertama dilakukan secara tatap muka sejak pandemi covid-19.
Revera Novita merupakan siswa dari SMAN 1 Pekalongan mengatakan bahwa ia datang jauh dari Jawa Tengah hanya untuk bisa menghadiri UI Open Days khususnya bertanya mengenai FISIP UI, “aku mau masuk Kriminologi makanya aku cari-cari info yang akurat disini, aku sangat antusias dan senang banget bisa datang ke booth FISIP UI apalagi langsung bertanya ke kakak mahasiswa Kriminologi nya langsung mengenai perkuliahan di FISIP, ” ujar Revera.
Selain membuka booth, FISIP UI diberikan kesempatan pertama untuk presentasi mengenai fakultas, program studi, jalur masuk serta biaya. Presentasi tersebut dilakukan oleh Dwi Ardhanariswari Sundrijo, Ph.D. (Sekretaris Fakultas & Plt. Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum). Ada sekitar kurang lebih 400 orang yang datang dan bertanya ke booth FISIP UI, diterima oleh Humas FISIP serta perwakilan mahasiswa dari setiap departemen.
Komunitas Tari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (KTF UI) Radha Sarisha akan mengikuti Festival Du Sud di Prancis dan Spanyol pada Juli-Agustus 2023 mendatang. Festival Du Sud merupakan salah satu festival seni budaya paling penting di Eropa yang menampilkan 1.200 penari dan musisi dari 18 negara, serta ditonton oleh lebih dari 50.000 orang.
“Selama proses latihan misi budaya, aku belajar bahwa menari bukan hanya tentang berusaha memenuhi keharusan-keharusan untuk menjadi penari yang sempurna di atas panggung, tetapi juga tentang mengasihi, ikhlas, dan bebas,” ujar Narita, anggota kontingen Misi Budaya Komunitas Tari FISIP UI ke Eropa.
KTF telah dipercaya untuk menjadi delegasi Indonesia untuk International Folklore Festival sejak tahun 2011, tahun ini KTF UI “Radha Sarisha” diundang kembali untuk membuktikan lagi keindahan tari dan musik tradisional Indonesia pada acara seni terbesar di dunia yang diselenggarakan di Eropa.
Komunitas Tari FISIP Universitas Indonesia “Radha Sarisha” (KTF UI) adalah sebuah komunitas yang lahir atas dasar kecintaan anak muda dalam pelestarian budaya negerinya. Didirikan sejak Juli 2008, anggota yang tergabung selalu berupaya untuk membuat prestasi baik di dalam maupun luar negeri.
Adapun misi budaya yang akan diikuti sejumlah 32 mahasiswa FISIP UI ini akan membawakan musik dan tari kreasi dari berbagai daerah di Indonesia, yaitu karya-karya dari Imam Firmansyah dan Jamilah Siregar, di antaranya Tari Kembang Molek dari Betawi, Tari Enggang Lato dari Kalimantan, dan Tari Zapin Kasmaran dari Melayu.
Menurut Project Officer Edina Rafi Zamira, misi budaya ini bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Indonesia dan mempromosikan pariwisata Indonesia melalui pertukaran budaya dan menampilkan kesenian tradisional kepada komunitas seni budaya internasional. Sebelumnya, KTF UI telah berhasil melaksanakan sembilan misi budaya ke 14 negara dan lebih dari 30 festival.
Dekan FISIP UI Prof Dr Semiarto Aji Purwanto menyampaikan dukungannya untuk kesuksesan program misi budaya. Prof Aji juga berharap bahwa misi budaya ke Festival Du Sud dapat memperkenalkan kebudayaan dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang lebih luas melalui tari tradisional yang akan ditampilkan.
Harapan Prof Aji tersebut diamini oleh kontingen misi budaya. Bagi Narita, proses latihan rutin yang sudah dijalankannya selama tujuh bulan terakhir menunjukan bahwa menari bukan hanya sekadar menggerakan tubuh, tetapi sebuah proses pembelajaran tentang hidup yang bermakna.
Bagi Narita dan banyak anggota kontingen misi budaya lainnya, menari mengajarkan mereka pentingnya kebersamaan, kepedulian, dan ketekunan. Sebelum berangkat, KTF FISIP UI akan mengadakan penampilan Gelar Pamit untuk menyampaikan apresiasinya kepada delegasi, donor, institusi, serta pihak lain yang telah mendukung misi budaya pada 30 Mei 2023 di Gedung Kesenian Jakarta. Gelar Pamit akan menampilkan pertunjukan yang setelahnya akan ditampilkan di Festival Du Sud dalam bentuk penampilan seni teatrikal.
Untuk informasi lebih lanjut ataupun dukungan bagi misi budaya KTF UI 2023 ke Festival Du Sud, pembaca dapat mengunjungi laman Instagram @ktfui
Kegiatan Tinjau Buku dan Film Dokumenter “Wulla Poddu: Ritual Marapu di Kampung Tarung, Sumba Barat” merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh tim dari Antropologi FISIP UI. Kegiatan ini didanai oleh LPDP Rispro melalui program Dana Indonesiana, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
Ritual Wulla Poddu mencerminkan suatu tindakan kolektif untuk menafsir kehidupan dalam lingkup luas. Setiap tahun Wulla Poddu dirayakan sebagai ritual, setiap tahun itu pula orang Sumba Barat merefleksikan dirinya. Mereka menyadari setiap tahun selalu menghadirkan suatu kondisi yang belum pasti: kondisi alam pada pertanian mereka selama satu tahun ke depan.
Arief mengatakan, dalam penelitian yang kami lakukan, terdapat satu bagian penting dari ritual yang seringkali belum banyak diulas. Bagian penting tersebut adalah bagaimana ritual Wulla Poddu dimaknai sebagai rasa syukur atas hasil panen padi pada tahun sebelumnya sekaligus pengharapan hasil terbaik untuk masa tanam berikutnya, sehingga kita bisa melihat Wulla Poddu sebagai ritual yang menyatukan manusia dengan alam melalui padi.
Ritual Wulla Poddu, peryaan orang Sumba Barat di Kampung Tarung, tempat mereka menari, menari untuk merayakan keberdaan diri mereka, menari untuk mensyukuri kehidupannya, sekaligus menari untuk padi.
Wulla Poddu dipimpin oleh Rato Rummata, seorang Rato yang juga menjabat sebagai kepala suku. Dalam perjalanannya, kami bertemu dengan Thara yang merupakan keponakan dari Rato Rummata sekaligus penari dalam ritual Wulla Poddu.
Menurut Thara, Padi sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi kita harus bersyukur punya padi karena tanpa padi kita tidak bisa makan. Di Sumba itu padi sulit sekali ditemukan. Hanya beberapa orang yang bisa menghasilakn padi begitu banyak.
“Jadi itulah kepercayaan Marapu bahwa penghasilan petani selalu berada di titik tertinggi, terkhususnya kami yang berada di Kampung Tarung, kami melakukan itu karena kami bersyukur sekali karena kami bisa mendapatkan padi karena tidak semua orang bisa mendapatkan padi yang memuaskan,” ujar Thara.
Secara sederhana Wulla Poddu menjadi ritual untuk menyampaikan rasa syukur dan berkat, hal ini tercermin dalam nyayian syair adat di masa Wulla Poddu yang bercerita tentang kehidupan,
masa depan, pertobatan maupun hubungan antara sang pencipta, manusia dan alam. Selain menyampaikan rasa syukur dan berkat.
Diskusi buku dan film dilaksanakan di Auditorium Mochtar Riady pada Selasa, 23 Mei. Pameran foto diselenggarakan mulai tanggal 23 hingga 26 Mei 2023 di selasar Gedung C FISIP UI.
Dalam diskusi buku dan film, Irfan Nugraha dan M. Arief Wicaksono selaku perwakilan penulis menyampaikan hasil dan pengalaman riset. Selaku pembahas dalam kegiatan diskusi buku dan film ini adalah Imam Ardhianto (dosen Departemen Antropologi). Selain itu, sebagai pembicara juga hadir Inna Tara, seorang warga Kampung Tarung, Sumba Barat.
Imam mengatakan bahwa merekam proses tradisi ini menjadi penting untuk didokumentasikan hal tersebut direfleksikan di Kampung Tarung, selain itu juga untuk memajukan budaya dan menerjemahkan.
Kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya kajian mengenai ritual dan komunitas tradisional serta berkontribusi dalam upaya pemajuan objek pemajuan kebudayaan di Indonesia.
Kampus UI Depok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia