Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) kembali menggelar learning series bulanan dengan tema “Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak”. Mengangkat tajuk “Mewujudkan Keadilan dan Melindungi Anak dalam Sistem Peradilan”, learning series kali ini menghadirkan pembicara dari berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam perkembangan sistem peradilan anak di Indonesia.
Maria Santos Pais, Perwakilan Khusus Sekjen PBB untuk Pencegahan Kekerasan terhadap Anak, hadir sebagai pembicara yang menyampaikan perspektif globalnya dalam keadilan, hukum pidana dan perlindungan anak. Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, hadir pula untuk mengenalkan UU Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Selanjutnya, implementasi UU SPPA dan perkembangan RKHUP dibahas oleh Taufiqul Hadi, Anggota DPR RI Komisi III, dan Anggara Suwahyu dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Dibagi dalam dua sesi, pembahasan diskusi ini dipandu oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Direktur Keluarga, perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga, Bappenas) dan Anugerah Rizki Akbari (Sekolah Tinggi Hukum, Jentera).
Menurut Maria, dua hal penting yang dibutuhkan oleh anak-anak yang berurusan dengan hukum adalah tumbuh dengan rasa aman dari kekerasan dan adanya keadilan. Anak-anak yang rentan terlibat dalam tindakan kriminal adalah mereka yang menjadi korban kekerasan, baik itu secara fisik, emosional, atau seksual, sehingga diperlukan perlindungan dan pendampingan dalam sistem peradilan agar tidak semakin memperkeruh masa depan mereka.
“Mereka bilang, mereka ingin rasa aman karena ketika mereka berada dalam kondisi beresiko, mereka ingin sistem peradilan mendengarkan cerita mereka, memahami mereka, dan membantu menghilangkan trauma mereka” terang Maria. “Mereka juga ingin diperlakukan adil, diperlakukan dengan respek. Ingin didengarkan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, bukan warga negara kelas dua” imbuhnya.
Maria menyarankan empat hal untuk membuat sistem peradilan anak yang kuat, salah satunya adalah melalui keadilan restoratif. Keadilan restoratif harus ditegakkan karena sifatnya yang menjamin korban, pelaku, dan masyarakat terlibat dalam pencarian solusi terbaik untuk suatu kasus. Dalam negara yang keadilan restoratifnya telah berjalan dengan baik, jumlah residivis menjadi berkurang, adanya perubahan hidup yang lebih positif bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, kasus kriminal berkurang, dan resiko kekerasan dalam masyarakat semakin rendah.
“Tingkat kriminal di Amerika Serikat berkurang lebih dari 60% setelah penerapan sistem ini”, ujarnya.
Di Indonesia, Prahesti menyebut bahwa keadilan restoratif telah menjadi landasan arah kebijakan SPPA.
“Jadi, kalo dilihat dari arah kebijakan ini, pemerintah sangat firm dengan bagaimana kita mempunyai sistem keadilan yang baik, agar bisa mencegah kerusakan masa depan anak yang lebih masif”, ungkap Prahesti.
Taufiqul Hadi menyebutkan bahwa pembahasan RUU SPPA sudah melibatkan masyarakat sipil, dan keadilan restoratif disepakati untuk diberlakukan untuk anak dengan ancaman lebih dari tujuh tahun penjara dan bukan bentuk pengulangan tindak pidana.
Sementara, tantangannya berasal dari anggaran, SDM, dan konsolidasi program-program masyarakat agar bisa berjalan dengan program-program pemerintah.