Depok, 4 Juli 2024 – Awang Ruswandi menjadi lulusan doktoral Ilmu Komunikasi FISIP UI ke-145 dengan predikat sangat memuaskan setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kebebasan Media Lokal pada Era Desentralisasi Demokratis (Studi Mengenai Relasi Kuasa antara Media Lokal dan Pemerinta Lokal)” pada Kamis (4/7) di hadapan para dewan penguji di Auditorium Mochtar Riady, FISIP UI, Depok.
Selaku ketua sidang promosi doktor, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, sebagai promotor Dr. Hendriyani, M.Si. dan kopromotor Dr. Agus Sudibyo. Serta dewan penguji, Prof. Dr. rer.soc. Masduki, M.Si., M.A., Dr. Irwan Julianto, M.P.H., Dr. Ade Armando, M.S., Dr. Nina Mutmainah, M.Si., dan Dr. Camelia Catharina L.S., M.Si.
Awang menjelaskan, studi ini berupaya melihat bagaimana hubungan kerja sama antara media lokal dan pemerintah lokal. Secara lebih spesifik penelitian ini ingin melihat apakah kerja sama tersebut mengganggu kebebasan media lokal dalam memberitakan isu-isu terkait aktivitas dan kebijakan pemerintah lokal.
Lebih lanjut Awang mengatakan bahwa hubungan kerja sama antara media lokal dan pemerintah lokal saat ini sudah meluas dan bahkan mungkin sudah terjadi di semua tingkatan pemerintah lokal di seluruh Indonesia. Hal ini tampaknya sudah dianggap sesuatu yang wajar oleh masyarakat. Padahal dalam kerja sama tersebut terdapat transaksi ekonomi atau jual beli ruang media. Sesungguhnya kerja sama seperti ini adalah sesuatu yang menyalahi fungsi media.
“Namun, karena adanya hegemoni pikiran, terjadilah konstruksi realitas seperti yang terjadi saat ini. Dengan demikian kerja sama ini merupakan sebuah konstruksi hasil strukturasi yang dilakukan oleh para agensi (social actors) dari pihak media dan pemerintah lokal. Dari kerja sama tersebut dapat ditelusuri proses terjadinya strukturasi dalam hubungan sosial di antara kedua belah pihak,” jelasnya.
Menurut Awang, kondisi seperti ini sebenarnya sudah membahayakan, karena tentu media akan menjadi tumpul daya kritisnya. Saat ini, media dan jurnalisme memang banyak mengabaikan kepentingan publik. Jika kondisi seperti itu terus berkembang, maka masalah tersebut akan menghambat fungsi watchdog media dan menghambat freedom of the press, dan pada akhirnya tentu akan merusak tegaknya demokrasi.
Praktik otonomi di lapangan khususnya dalam mengalokasikan anggaran untuk kerja sama dengan media yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi, malah justru menghambat berjalannya kebebasan media.
Riset ini didasari latar belakang banyaknya kerja sama yang dibuat oleh pemerintah lokal dengan media lokal dalam hal pemberitaan aktivitas-aktivitas pemerintah lokal pada era otonomi/desentralisasi pemerintahan daerah.
Studi ini bertujuan untuk mengkaji kebebasan pers lokal yang memiliki hubungan kerja sama dengan pemerintah lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Media yang dipilih adalah media daring lokal di Jawa Barat, yaitu Media Jabar 1 dan Media Jabar 2.
Awang memaparkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa media lokal yang bekerja sama dengan pemerintah lokal telah menggeser fungsi media yang tadinya sepenuhnya untuk ruang publik, sekarang sebagian ruang itu digunakan untuk corong pemerintah.
Lebih lanjut ia mengatakan, media telah menjadi alat tukar yang ditransaksikan dengan dana pemerintah lokal. Akibatnya ruang-ruang untuk melayani publik di media semakin berkurang atau menyempit, karena sebagian ruang itu digunakan untuk suara pemerintah lokal.
“Lebih jauh lagi media lokal sudah kehilangan fungsi sebagai alat kontrol bagi pemerintah, juga kehilangan fungsi penyedia informasi alternatif untuk mengimbangi suara pemerintah di tengah publik. Jadi, ada relasi kuasa yang timpang antara pemerintah lokal terhadap media lokal. Implikasinya adalah media lokal tidak dapat menjalankan kebebasan media dengan baik. Padahal media yang bebas adalah salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan desentralisasi demokratis,” ujarnya saat menjelaskan hasil penelitiannya di hadapan para penguji.