


Sakti Wira Yudha menjadi Doktor Sosiologi setelah mempertahankan judul disertasi nya “Keberlimpahan Relatif di Negeri Minyak: Studi Pengelolaan Sumber Daya Ekstraktif dalam Konteks Dinamika Relasi Desentralisasi dan Globalisasi di Kabupaten Bojonegoro” pada Kamis (13/7) di Auditoirum Juwono Sudarsono FISIP UI.
Ketua sidang, Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes., Ph.D. Promotor, Prof. Dr.-der.Soz. Drs. Gumilar Rusliwa Somantri dan Kopromotor, Francisia Saveria Sika Ery Seda, M.A., Ph.D. Dewan penguji, Dr. Ir. Muhammad Hanafi, MBA, IPU., Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto, Dr. Ida Ruwaida, M.Si., dan Lugina Setyawati Setiono, Ph.D.
Secara historis, tulisan ini berupaya mengkaji perubahan strategi tata kelola komoditas ekstraktif di berbagai periode pemerintahan yang terjadi di nusantara dan Indonesia sebagai negeri dengan sumber daya alam melimpah.
Sakti menjelaskan bahwa keberlimpahan komoditas tersebut tidak selamanya berbanding lurus secara linear dengan hasil pembangunan. Secara teoretik, terdapat tiga pendekatan yang mengkaji fenomena mengenai pengelolaan sumber daya ekstraktif yakni kutukan sumber daya alam, ekonomi politik, dan institusional.
“Namun, ketiga perspektif tersebut abai dalam mempertimbangkan perubahan mekanisme otonomi dan distribusi kekuasaan secara historis menjadi faktor determinan yang signifikan dalam menentukan berhasil atau gagalnya transformasi pembangunan,” ujar Sakti.
Dengan menggunakan metode historical sociology tulisan ini berargumen bahwa kapasitas institusional negara dan sinergi negara-masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif ditentukan oleh seberapa besar perubahan mekanisme otonomi dan distribusi kekuasaan pemerintah direorganisasi dalam rangka mencapai transformasi pembangunan baik di tingkat nasional maupun subnasional.
Sakti mengemukakan hasil riset disertasi ini, yaitu menunjukkan partisipasi pemerintah subnasional dalam pengelolaan komoditas petroleum telah berhasil membuka ruang distribusi dan reorganisasi kekuasaan untuk meningkatkan kapasitas institusional negara, namun belum menjamin kemajuan transformasi pembangunan yang masih bergerak secara perlahan.
Keberlimpahan relatif komoditas minyak dapat terjadi pada periode pemerintahan manapun di nusantara, Indonesia, maupun Bojonegoro. “Tantangannya adalah keberlimpahan ini dapat menjadi anugerah atau kutukan bagi pembangunan yang dilakukan oleh negara apabila tata kelolanya mempertimbangkan dimensi spasial, vertikal, dan horizontal. Namun, keputusan memilih strategi pembangunan yang dipakai harus segera dilakukan mengingat komoditas minyak ada masa kadaluarsanya yang suatu saat bisa habis,” jelas Sakti.
Di sisi lain partisipasi pemerintah subnasional dalam pengelolaan komoditas minyak telah berhasil membuka ruang distribusi dan reorganisasi kekuasaan untuk meningkatkan kapasitas institusional negara menuju arah yang konstruktif dan bukan sebaliknya yakni pragmatis atau eksploitatif, namun hal ini belum menjamin kemajuan transformasi pembangunan yang masih bergerak secara perlahan baik di tingkat nasional dan subnasional.