FISIP UI menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Politik dengan promovenda atas Suryani. Suryani menyampaikan penelitian disertasi dengan judul, “Koalisi Partai Politik Islam Dalam Pemilihan Presiden Tahun 2014: Studi Kasus Posisi Tawar PKS, PPP, PAN Dan PKB Dalam Koalisi”. Suyani menjalani sidang terbuka secara daring pada Selasa (03/08). Sebagai promotor Prof. Dr. Burhan D. Magenda dan kopromotor Chusnul Mar’iyah, Ph.D.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena tentang elektabilitas partai-partai politik Islam (PKS, PPP, PAN, dan PKB) yang semakin menurun dalam setiap pemilu. Hal tersebut ditandai dengan perolehan suara di pemilu yang cenderung tidak mengalami peningkatan yang berarti.
Penelitian ini bermaksud menelaah lebih dalam bagaimana PKS, PKB, PPP dan PAN memposisikan diri dalam pemilihan presiden, terutama yang berkaitan dengan daya tawar politik di dalam koalisi yang dimasuki untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Seperti umum diketahui, bahwa empat partai politik Islam tersebut tidak pernah berada dalam koalisi tunggal poros Islam, walaupun wacana tentang pembentukkan koalisi antar empat partai ini selalu dikemukakan pada saat menjelang pemilihan presiden. Namun wacana itu selalu gagal diwujudkan dan kembali suara umat Islam terpecah pecah ke dalam bangunan koalisi nasional yang dimotori oleh partai partai lain yang tidak mengusung calon presiden dari kalangan partai Islam
Menggunakan teori triad koalisi dari Theodore Caplow (1956) yang membahas tentang size of party power sebagai dasar pembentukkan koalisi dan penentuan posisi daya tawar politik anggota koalisi, teori tentang arena koalisi dari Heywood dan Arendt Liphart yang membahas tentang pentingnya kesamaan ideologi dalam koalisi, teori tentang tipologi partai politik dari Almond yang dikaitkan dengan konsep tentang partai Islam dari Vali Nasr, penelitian kualitatif ini menganalisis masalah yang berkaitan dengan konstruksi bangunan koalisi yang dibentuk (KIH dan KMP) dengan melihat posisi PKS, PPP, PAN dan PKB didalamnya.
Mengaitkan masalah tentang adanya kesamaan dasar nilai ideologi partai dan karakter basis massa yang sama, penelitian ini juga menganalisis masalah tentang penyebab partai partai politik Islam tidak membangun satu koalisi bersama untuk menghadapi Pemilihan Presiden 2014 untuk mengajukan tokoh politik Islam sebagai calon Presiden dan wakil presiden. Penelitian ini menemukan bahwa orientasi policy seeking yang mengedepankan ideologi sebagai motivasi dalam membentuk koalisi, sudah tidak lagi dianggap penting.
Identifikasi kekuatan perolehan suara partai politik seperti yang dijelaskan oleh Caplow menjadi satu satunya strategi dalam pembentukkan koalisi. Akibatnya, pragmatisme semakin kuat dengan office seeking yang menjadi orientasi dalam berkoalisi, soliditas menjadi lemah dan partai politik bisa dengan mudah keluar masuk koalisi. Konflik internal partai, menjadi salah satu penyebab lemahnya daya tawar politik partai di dalam koalisi yang dimasuki karena dianggap mengancam elektabilitas capres dan cawapres yang diajukan. Tidak terbangunnya koalisi di antara partai politik Islam disebabkan karena orientasi ideologi yang berbeda, lebih dominannya pragmatisme politik dan tidak adanya figur elite politik Islam yang bisa menjadi pemersatu kekuatan Islam politik yang terpecah.
Implikasi teoritis dari penelitian ini menunjukkan bahwa size of party power seperti yang dikemukakan oleh Caplow dalam pembentukkan koalisi hanya dijadikan sebagai strategi untuk mengumpulkan kekuatan partai dalam kontestasi. Karakter massa dan latar belakang nilai ideologi yang sama tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk melakukan bargaining dalam internal koalisi dalam penentuan keputusan penting. Secara teoritis, seperti yang dikemukakan oleh Caplow, masing-masing anggota koalisi memiliki daya tawar berdasarkan besaran kekuatan suara yang dimiliki. Namun secara faktual, posisi tawar PKS, PPP dan PAN di KMP sangat minim dan lemah, Begitu juga dengan PKB di KIH, walau menjadi partai kedua terbesar di KIH, lemahnya daya tawar politik PKB membuat calon waki presiden yang diajukan PKB tidak diputuskan mendampingi Joko Widodo sebagai calon presiden.
Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa empat partai berhaluan Islam yang menjadi obyek dalam penelitian ini (PKS, PPP, PAN dan PKB) terpisah dalam dua koalisi, PKB bergabung dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) bersama dengan beberapa partai nasionalis yang dipimpin oleh PDIP. Tiga partai lain yakni PPP, PAN dan PKS masuk dalam KMP (Koalisi Merah Putih) yang dikoordinir oleh Partai Gerindra.
Kompetisi dimenangkan oleh KIH dan menyisakan KMP yang akhirnya bubar setelah PPP dan PAN memutuskan untuk bergabung dengan KIH sebagai pemenang Pilpres dan menjadi bagian dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. KMP menyisakan PKS yang tetap bersama Partai Gerindra berada di luar pemerintahan sampai berakhirnya masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di tahun 2019.
Beberapa kali upaya untuk membentuk Poros Islam dalam pilpres selalu gagal dilakukan, pada setiap menjelang pilpres wacana untuk membentuk poros parpol Islam selalu muncul namun selalu gagal untuk diwujudkan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor: Pertama; orientasi ideologi partai yang berbeda. Walau dengan sasaran konstituen yang sama, perbedaan orientasi ideologi menjadi batu sandungan yang cukup besar. PPP dan PKB contohnya, dua partai ini sama-sama memiliki basis massa NU, namun keduanya memiliki orientasi ideologi politik yang berbeda, di mana PKB lebih ke arah Islam moderat, dan PPP lebih berorientasi pada Islam yang lebih konservatif.
Faktor kedua; adalah karena adanya kepentingan pragmatis yang berbeda yang membuat keempat partai berhaluan Islam tidak akan berada dalam satu koalisi elektoral yang sama dalam pilpres. Hal yang paling mempengaruhi kondisi tersebut adalah karena perebutan posisi dalam pilpres yang tidak mungkin dibagi rata kepada empat partai tersebut, pada kondisi di mana keempatnya berada dalam besaran massa yang hampir sama dalam politik elektoral ditandai dengan perolehan suara yang tidak terlalu jauh antara satu dengan yang lainnya (sekitar 7-9 %). Pengajuan nama calon presiden dan wakil presiden dipastikan akan menjadi masalah yang cukup rumit bila PKS, PPP, PAN dan PKB ada dalam satu koalisi. Karena kempatnya memiliki kader kader terbaik yang sama sama dinilai layak untuk tampil dan menjadi figur utama.
Faktor ketiga yang menghambat terjadinya koalisi bersama partai Muslim adalah karena minimnya figur elite politik dari keempatnya yang memiliki elektabilitas tinggi. Dari tiga pilpres setelah Orde Baru, figur yang memiliki daya tarik dan elektabilitas tinggi selalu datang dari partai partai non Islam. Para elite politik yang berasal dari partai berhaluan Islam hanya muncul meramaikan wacana bursa capres dan cawapres namun tidak memiliki elektabilitas tinggi ditengah masyarakat muslim itu sendiri, akibatnya sejak Pemilu 2004, partai Islam tidak mampu menjadi trendsetter dan hanya menjadi follower dalam kontestasi capres dan cawapres dengan menjadi anggota koalisi yang sudah dibentuk oleh partai lain yang memiliki kekuatan elektoral lebih tinggi.
Langkah awal yang harus dilakukan bila ingin menampilkan figur elite Muslim yang besar adalah dengan memastikan elektabilitasnya di masyarakat dan tentunya harus berasal dari partai berhaluan Islam, bukan dari partai non Muslim yang akhirnya akan mengaburkan identitas Islam politik dalam kontestasi. Ceruk kekuasaan yang diperebutkan dalam pilpres memang selalu memunculkan konflik tersendiri diantara partai partai berhaluan Islam yang secara nasional tidak pernah akur dalam satu opini dalam menghadapi kontestasi elektoral. Perasaan memiliki kekuatan massa yang sama dan target kekuasaan yang sama membuat massa Muslim yang idealnya bisa berada dalam suara yang sama dalam pilpres akhirnya berpecah pecah.