Feni Fasta menjadi lulusan doktoral Ilmu Komunikasi FISIP UI setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kontestasi Kepentingan dalam Migrasi Digital Televisi di Indonesia: Kajian Tentang Pertarungan Pemerintah, Industri, dan Masyarakat dalam Pengelolaan Multiplexing Periode 2011-2022” pada Kamis (04/07) di hadapan para dewan penguji di Auditorium Mochtar Riady, FISIP UI, Depok.
Selaku ketua sidang promosi doktor, Prof. Dr. Fredy B. L. Tobing, sebagai promotor Dr. Nina Mutmainnah, M.Si. dan kopromotor Dr. Eriyanto, M.Si. Serta dewan penguji, Prof. Dr. Phill. Hermin Indah Wahyuni, M.Si., Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A., Dr. Hendriyani, M.Si., Dr. Irwansyah, M.A dan Dr. Indah Santi Pratidina, M.Soc.Sci.
Proses migrasi digital di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 2007. Selama lebih dari satu dekade, tenggat waktu analog switch off (ASO) di Indonesia terus mundur meskipun International Telecommunication Union (ITU) melalui The Geneva 2006 Frequency Plan (GE06) Agreement telah memberikan target bagi negara-negara di dunia untuk melakukan migrasi dari analog ke digital (analog switch off/ASO) paling lambat pada tahun 2015.
Feni mengatakan pada tahun 2022, dengan dasar hukum UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah memutuskan bahwa pada November 2022 Indonesia akan melaksanakan ASO. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontestasi terkait proses digitalisasi penyiaran televisi.
“Tanpa dilandasi oleh UU Penyiaran yang harusnya menjadi dasar hukum kebijakan penyiaran di Indonesia, ASO di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan mendasar, seperti pengaturan multiplexing, pembagian set top box (STB), dan pengelolaan digital dividend,” jelas Feni.
Lebih lanjut Feni menjelaskan bahwa penelitian ini adalah penelitian ekonomi politik kritis. Teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi tentang adanya kondisi-kondisi seperti kesadaran palsu, untuk tujuan-tujuan pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari pemaksaan tersembunyi.
Dalam penelitian ini Feni menemukan bahwa di dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran, pemain besar industri pertelevisian adalah pihak yang paling diuntungkan. Sementara industri pertelevisian skala kecil terhimpit dan termarjinalkan.
“Selain menguntungkan konglomerat media, proses digitalisasi di Indonesia juga semakin menghilangkan peran masyarakat sipil dan lembaga negara independen wakil publik (Komisi Penyiaran Indonesia). Melalui Kementerian Kominfo, pemerintah mengambil seluruh wewenang dalam proses digitalisasi penyiaran televisi,” jelasnya.
Ia juga memberikan rekomendasi yaitu agar revisi UU Penyiaran harus dilanjutkan dengan rumusan yang lebih jelas arah keberpihakannya bagi kepentingan publik, penggunaan spektrum frekuensi digital terrestrial, yang terbatas jumlahnya perlu diatur secara ketat, serta para stakeholder penyiaran perlu didengar dan diakomodir masukannya, lalu yang penting KPI dapat kembali diberikan kewenangan untuk menyeimbangkan otonomi pemerintah yang dominan.