Kelangkaan minyak goreng di Indonesia sudah dialami masyarakat Inbdonesia selama 2 bulan terakhir ini. Secara ekonomi, turbulensi harga minyak goreng di pasar domestik amat mudah dijelaskan, yaitu dengan mendedah fakta bahwa kenaikan harga selaras dengan melonjaknya harga minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO), bahan baku utama minyak goreng.
Jika gejolak harga minyak goreng dengan mudah dipahami secara ekonomi, tidak demikian halnya dengan dimensi politik. Dalam bingkai ekonomi-politik, pemerintah mesti menyadari bahwa tidak ada kebijakan (ekonomi dan politik) yang bisa memuaskan semua pihak secara optimal.Setiap kelompok kepentingan akan berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-kecilnya. Karena itu, setiap kebijakan (ekonomi dan politik) selalu ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan. Dari sisi perspektif ekonomi politik bahwa Pemerintah menghadapi tantangan untuk membuat kebijakan yang tepat dalam krisis minyak goreng di Indonesia. Dalam ekonoomi politik terutama pasar tidak dilihat dari aspek perilaku jual beli tapi ada aktor konstituen yang merupakan rakyat merupakan aktor yang penting. Demikian yang dikatakan Meidi Kosandi, Ph.D (dosen departemen Ilmu Politik FISIP UI)., dalam sebuah webinar dengan tema Strategi Penyelesaian Krisis Minyak Goreng di Indonesa (31/03)
“Dalam kasus kelangkaan minyak goreng pemerintah menghadapi dilema antara pasar dengan masyarakat. Isu ini memang dilatarbelakangi oleh kenaikan harga minyak sawit di dunia, minyak goreng kemasn langka ketika diterapkan HET (Harga Eceran Tertinggi), tetapi ketika mengkuti harga pasar maka muncul isu soial dan politik di masyarakat. Kemudian ada isu bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat, serta ada kartel minyak goreng. Isu kartel ini justruseakan dibenarkan oleh Menteri Perdagangan di depan para anggota DPR RI. Mendag menyebut ada mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Lutfi mengakui bila kewenangan kementeriannya amat terbatas. Mafia atau kartel inilah yang dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi dan wilayah pemasaran’ ujar Meidi.
Menurut Meidi, kebijakan negara di sektor industri sawit diantaranya hilirisasi industri berbasis kelapa sawit sejak 2007, dengan inovasi Indonesia berhasil mengembangkan 168 jenis produk turunan, 80% ekspor produk turunan serta produksi minyak goreng. Adanya sentralisasi dibawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta ada program B30 yaitu pencampuran 30% biodiesel sawit dengan 70% minyak solar program ini diklaim menguntungkan negara melalui penambahan devisa sebab 30 persen bahan baku untuk pembuatan solar diperoleh dari komoditas kelapa sawit Indonesia. Dari bebrapa langkah Pemrintah ini sudah terlihat bahwa Pemerintah sudah berupaya mengembangkan industri sawit di dalam negeri. Dilema yang dihadapi oleh negara di satu sisi negara ingin mengembangkan industri kelapa sawit tetapi di sisi lain diterpa isu isu seperti lingkungan hidup, alih lahan hutan dan isu keberpihakan pada masyarakat.
Beberapa persoalan yang dihadapi dalam paradigma kebijakan ada kecenderungan kebijakan didominasi oleh paradigma kekuasaan. Ada narasi ketergantungan konsumsi minyak goreng di dalam negeri sehingg perlu ada perubahan perilaku masyarakat seolah itu sumber masalahnya. Kemudian ada juga narasi penimbunan minyak goreng. Narasi- narasi yang dibangun seperti ini bisa jadi benar tapi dalam praktiknya semua permaslahan terkait dengan supply yang seharusnya diatur tetapi yang diangkat adalah soal yang lain.
Ada beberapa pilihan kebijakan diantaranya pembangunan industri kelapa sawit harus berkelanjutan dan masyarakat harus dilibatkan dalam kebijakan negara. (2) dari sisi regulatif membuat pengaturan untuk prioritas suplai pasar doemestik dan menerapkan insentif perdagangan domestik. (3) Terkait distributif maka pasar domestik harus dilindungi dan memperketat pengawasan pasar domestik dan perdagangan internasional. (4) Kebijakan harus redistributif yang berarti pendapatan produk sawit untuk lingkungan hidup, industri dan pasar domestik.