FISIP UI menerima kunjungan Dosen Seskoal untuk studi banding. Studi banding ini dilaksanakan secara tatap muka di Balai Sidang Universitas Indonesia pada Kamis (20/01), selain perkenalan tentang FISIP UI, proses belajar mengajar serta sistem akademis, studi banding ini di isi dengan kegiatan kuliah umum tentang Konflik Laut Cina Selatan ditinjau dari sisi Politik, Diplomasi, Ekonomi dan Hukum dan dilanjutkan dengan diskusi dari Seskoal, Laksamana Pertama TNI Judijanto, S.T, M.Si, M.A. dan dari FISIP UI, Edy Prasetyono, S.Sos, MIS, Ph.D.
lndonesia, sekalipun bukan negara pengeklaim, memiliki kepentingan atas klaim sepihak Cina atas seluruh wilayah perairan Laut Cina Selatan, yang meliputi seluruh kepulauan dan pulau di dalamnya, turut mengancam kedaulatan dan kepentingan lndonesia di wilayah perairan Laut Cina Selatan, yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) lndonesia.
Bukan saja kedaulatan wilayah Indonesia atas Kepulauan Natuna yang terancam, tetapi juga seluruh kepentingan lndonesia sebagai sebuah negara kepulauan berdasarkan konsep Wawasan Nusantara, yang dihormati eksistensinya, khususnya hak-hak pengelolaan wilayah ZEE hingga 200 mil laut.
“Bahkan pada Januari 2020, puluhan kapal ikan Cina yang dikawal dengan kapal penjaga pantai dan kapal fregat pemerintah Cina menerobos masuk wilayah ZEE lndonesia di perairan Laut Natuna Utara” jelas Judijanto.
Selain itu, situasi rawan konflik Laut Cina Selatan, meningkat hingga menuju titik krisis karena negara-negara di kawasan yang menentang klaim sepihak Cina akan berlomba meningkatkan kekuatan pertahanan militernya.
Judijanto mengatakan, ”dominasi China atas wilayah Laut Cina Selatan dapat membantu Cina melakukan satu atau lebih hal seperti mengedalikan operasi penangkapan ikan dan kegiatan eksplorasi minyak dan gas di laut Cina selatan serta memaksa, mengintimidasi maupun memberikan tekanan politik kepada negara lain yang berbatasan dengan laut Cina selatan.
Lebih lanjut Judijanto menjelaskan, ada beberapa fakta permasalahan yang masih terjadi di perairan Natuna Utara diantaranya belum terselesaikan konflik terkait ZEE dan landasan kontinen, terdapat kegiatan penangkapan ikan serta Cina melakukan protes terhadap kegiatan eksplorasi migas Indonesia.
Dalam konflik di Laut China Selatan, klaim tersebut tumpang tindih dengan wilayah perairan dan ZEE sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei. Sementara Amerika menjadi negara yang aktif menentang klaim dan aksi sepihak China.
Indonesia sebenarnya sudah berulangkali menegaskan tidak memiliki sengketa dengan China di Laut China Selatan. Namun, aktivitas sejumlah kapal ikan dan patroli China di ZEE Indonesia di sekitar Natuna jadi persoalan yang membuat Indonesia khawatir.
Edy lebih memfokuskan perang strategi di laut Cina Selatan antara Amerika dan Cina. Edy Prasetyono mengatakan, letak geografis wilayah Indonesia yang berada di gugusan perairan Laut China Selatan mau tak mau menjadikan Indonesia sebagai salah satu medan adu pengaruh AS dan China.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan Amerika menyadari posisi Indonesia yang sangat strategis dan tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan China karena Indonesia memang merupakan slah satu satu negara yang memiliki posisi strategis.
“Cina mempunyai kepercayaan yang tinggi dan persepsi Amerika is in decline. Amerika sendiri mempunyai pandangan bahwa Cina adalah salah satu strategic competitor yang mengancam posisi Amerika” jelas Edy.
Edy juga mengatakan bahwa strategi Amerika adalah beraliansi bilateral maupun multilateral dengan negara-negara besar dan konsepsi yang military heavy. Sementara Cina tekankan pragmatisme hubungan ekonomi, kerjasama pembangunan infrastruktur, dukungan politik serta penguatan militer di laut Cina Selatan.