Dalam pemahaman umum, perkosaan didefenisikan sebagai hubungan seksual yang tidak diinginkan. Artinya, bila perempuan mengatakan “Tidak”, berarti itu perkosaan. Kasus pemerkosaan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sangat memprihatinkan. Harusnya Pemerintah dan masyarakat lebih peduli lagi dan memperhatikan masalah ini, agar tidak ada lagi korban,” kata Peneliti, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas sekaligus Dosen Universitas Amsterdam, Prof. Dr. Saskia E. Wieringa saat memberikan kuliah umum yang bertema “Perkosaan, Kekuasaan dan Patriarki” di gedung M, FISIP UI (23/01)).
Melihat persoalan seperti itu, Saskia merujuk pada dua pendekatan, yakni sejarah dan kebudayaan. Dalam sejarah Indonesia, Saskia merujuk pada sosok Jago, yakni orang yang punya kekuasaan spritual, politik dan seksual. Para jago ini biasanya punya kekuasaan luar biasa untuk memiliki atau memaksakan hasrat seksualnya kepada perempuan. Contoh lainnya adalah selir, yakni perempuan yang diambil paksa oleh raja atau bangsawan untuk dijadikan istri. Biasanya karena tekanan dari orang tua, perempuan menjadi selir. Ada juga perempuan yang diberikan sebagai jaminan utang. Tetapi selir baru punya kekuatan/pengakuan kalau mereka bisa hamil dan memberi anak kepada suaminya.
Dalam catatan sejarah beberapa hal seperti adanya kekuasaan, sosok jago, spiritual, politik dan seksual terlihat dengan adanya istilah selir yang beberapa diambil dari daerah tertentu. Ada juga catatan terhadap anak perempuan yang diberikan sebagai jaminan hutang. Hal tersebut menjadi dalam catatan sejarah yang terjadi di Indonesia. Kemudian dari sisi agama maupun budaya adanya catatan seperti kawin paksa di bawah umur, serta poligami dan budaya Reog dalam hal ini warok yang mencari pria untuk dijadikan gemblak. Namun, dalam banyak kasus, masyarakat menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang ‘normal’. Atau malah sebagai ‘kehormatan’. Biasanya, kehormatan itu dinikmati oleh orang tua si gadis/selir. “Orang tua bangga karena anak gadisnya menjadi ibu dari anak-anak raja/keturunan darah biru. Yang menarik, Saskia menjelaskan pula soal kekerasan simbolik, yakni kekerasan seksual yang dianggap bukan kekerasan oleh korban, keluarga atau masyarakatnya. “Gerakan perempuan sudah lama berjuang, mungkin ratusan tahun, untuk menunjukkan bahwa kekerasan simbolik itu adalah kekerasan seksual,” katanya.