Dalam perkembangan teknologi informasi saat ini, pemanfaatan media sosial yang keliru dapat memicu munculnya berbagai bentuk kejahatan baru seperti cyber crime, ujaran kebencian, hingga penyebaran paham radikal. Penyebaran hoax dan ujaran kebencian tumbuh subur dalam perhelatan politik lokal maupun nasional, termasuk ajang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden tahun 2014 silam. Penyebaran paham radikal juga perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat jejaring ISIL di media sosial telah berhasil melakukan aksi teror di Indonesia. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan sebagai upaya pencegahan, seperti pemblokiran telegram dan beberapa media sosial lainnya.
Turut serta memikirkan upaya pengendalian kejahatan kontemporer tersebut, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan Simposium yang bertajuk 1st ASEAN Symposium of Criminology pada tanggal 4-5 September 2017. Acara yang digelar di Kampus FISIP UI Depok ini bertujuan untuk menciptakan forum dialog hingga jejaring yang lebih solid antar kriminolog se-ASEAN. Tema besar yang diusung adalah An Inquiry into Ethics, Theories, Culture and Practices.
Senin (4/09), acara 1st ASEAN Symposium of Criminology dibuka langsung oleh Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc, bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP UI. Turut hadir untuk memberikan keynote speech, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, Ph.D, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang diwakili oleh Irjen. Pol. Drs. Gatot Eddy Pramono. M.Sc. Yasonna Laoly memaparkan bahwa Kementerian Hukum dan HAM melakukan upaya membasmi virus ujaran kebencian melalui pendekatan teknologi, sosial budaya-etika, dan pendekatan hukum. Pendekatan teknologi berupa pengamanan jaringan, pendekatan sosial budaya-etika berupa penyuluhan hukum melalui media mainstream dan penguatan wawasan nusantara, sedangkan pendekatan hukum melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan. Senada dengan Yasonna, Gatot Eddy Pramono menjelaskan tantangan dari karakteristik internet-termasuk anonimitas- yang harus dihadapi dengan melibatkan partisipasi aktif dari semua komunitas seperti pemerintah, penyedia jasa media sosial, dan semua pemangku kepentingan.
Simposium ASEAN ini diikuti kurang lebih 36 pemakalah dan menghadirkan kurang lebih 12 pembicara dari kriminolog Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Taiwan, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Selandia Baru.