Pilih Laman

Film Our Land is The Sea adalah film dokumenter berdurasi 25 menit garapan Center for Southeast ASEAN Studies University Hawai’i berkolaborasi dengan The Global Workshop dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CSRS) UGM

Bercerita tentang tiga generasi dari keluarga Bajau di Taman Nasional Wakatobi yang mengalami perubahan drastis di lingkungan dan budaya, film ini mengangkat sudut pandang lain dari komunitas Bajau yang terkenal akan keahlian menyelam mereka. Bajau adalah kelompok etnis pelaut yang hidup di atas kapal di area Segitiga Terumbu Karang, kawasan dengan luas tak kurang dari 6 juta km persegi dan mengandung terumbu karang yang beragam. Komunitas Bajau tersebar di beberapa wilayah laut Asia tenggara seperti Filipina, Timor Timur, dan Papua Nugini. Namun, yang diangkat dalam film ini adalah komunitas Bajau yang ada di Sampela, Sulawesi Tenggara.

“Film ini adalah salah satu contoh bagaimana keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya sangat erat bertalian” ucap Dr. Kelly Swazey, salah satu pembuat film ini yang hadir sebagai pembicara.

Dr. Kelly Swazey menuturkan bahwa dengan adanya perubahan iklim, komunitas Bajau menghadapi situasi sulit dalam kehidupan mereka yang bergantung pada sumber daya laut. Kepunahan terumbu karang dan semakin berkurangnya jumlah ikan membuat komunitas Bajau harus berpikir lebih jauh mengenai masa depan sumber mata pencaharian mereka. Semula menghabiskan sebagian besar waktunya di laut, kini komunitas Bajau sudah merapatkan perahunya di daratan dan memberikan pendidikan formal bagi anak-anaknya. Pergeseran budaya ke arah modernisasi ini juga membawa implikasi pada dinamika kepercayaan adat dan agama Islam yang mereka anut. Sejak dahulu, komunitas Bajau percaya bahwa setiap orang Bajau memiliki kembaran gurita, sehingga ketika melukai gurita dan mendapatkan musibah, maka untuk menebusnya harus dengan menyelenggarakan ritual sesembahan ke laut. Hal tersebut bertentangan dengan nilai agama yang diterima generasi ‘baru’ di pendidikan formal, sehingga muncul pandangan bahwa tradisi tersebut bagian dari perilaku menyekutukan Tuhan. Sandro, pemimpin ritual-ritual pada tradisi Bajau pun kini sudah sedikit yang mewarisi pengetahuan dan keterampilannya.

Isu mengenai budaya menjadi lebih komplikatif dengan adanya diskriminasi etnis yang dialami mereka. Komunitas Bajau dianggap oleh masyarakat “darat” sebagai masyarakat pendatang yang tidak memiliki adat, karena tidak memiliki tanah. Padahal, adat dan budaya komunitas Bajau ada dalam satu sistem kosmologi yang utuh. Pun, Antropologi sendiri mengamini bahwa terdapat adat yang bukan berdasarkan tanah, melainkan laut.

“Kosmologi adalah sistem yang utuh, termasuk budaya, bahasa, kepercayaan, dan agama yang dipakai untuk menghadapi dan memahami lingkungan mereka”, terang Dr. Swazey.

“Namun, di Indonesia ini, sistem kosmologi tidak terlalu dihargai sebagai sesuatu yang bisa melebur dengan situasi seperti di era modern seperti sekarang.”, lanjutnya.

Tak pelak, dari sudut pandang Antropologi, dapat dikatakan bahwa Komunitas Bajau sedang berada pada persoalan identitas yang pelik. Setidaknya poin ini yang menjadi titik singgung dari bahasan empat pembicara yang dihadirkan dalam diskusi screening film ini.

“Ini salah satu problem yang sangat serius dalam Antropologi, yaitu tentang bagaimana kita sebagai Antropolog belajar mengenai orang lain, tentang cara mereka menghubungkan lingkungan di luarnya dengan dirinya, itulah yang disebut perkara identitas”, tutur Prof. Dr. Paschalis. M. Laksono, Antropolog lulusan Cornell University yang menjadi salah satu pembicara.

“Nah, film ini menceritakan ketegangan perjuangan orang-orang Bajau di Sampela untuk mengapropriasi hal-hal baru, pengaruh-pengaruh baru, yang jelas dikatakan dalam film ini, yakni agama Islam menjadi bagian dari identitas orang Bajau. 100% Muslim, 100% Bajau“, tambahnya.

Sementara, Drs. Sundjaya, M.Si mengatakan bahwa pelajaran yang dapat diambil dari film ini adalah persoalan yang dihadapi hampir seluruh Indonesia.

“Di sini kita bisa melihat bahwa identitas ternyata tidak statis. Jadi, seakan-akan identitas adalah suatu pilihan. Mau menjadi Bajau, maka kamu seperti ini. Atau menjadi modern maka seperti itu. Yang kedua adalah, identitas ternyata berkaitan dengan relasi dengan orang lain. Bagaimana orang lain memandang kita, akan menjadi Bajau atau bukan. Film seperti ini harus ditonton secara reflektif ” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa film ini memberikan pelajaran bagaimana orang tidak bisa melepaskan kearifan atau pengetahuan yang menjadi bagian dari identitas orang.

Acara Screening Film dan diskusi ini diselenggarakan oleh Departemen Antropologi FISIP UI bekerja sama dengan AMINEF pada Rabu (12/09), di Auditorium Juwono Sudarsono dengan dimoderatori oleh Dr. Toni Rudyansjah (Kepala Departemen Antropologi FISIP UI).