FISIP UI menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Kriminologi dengan promovendus atas nama Muhammad Idris Froyoto Sihite. Disertasi ini berjudul “Perpektif Viktimologi Tentang Negara Sebagai Korban Dalam Pemulihan Aset Hasil Korupsi Yang Ditempatkan Di Luar Negeri”. Sidang terbuka Promosi Doktor secara daring dilaksanakan pada Senin (27/12).
Pada sidang terbuka, Idris menjelaskan ringkasan disertasi dihadapan para penguji, yaitu
Prof. Dr. Dody Prayogo, Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A, Vishnu Juwono, S.E, M.I.A, PhD, Prof. Adrianus Meliala, Ph.D, Dr. Zainal Abidin, M.Si, Dr. Vinita Susanti, M.Si, Dr. Ni Made Martini Puteri, M.Si, dan Dr. Iqrak Sulhin, M.Si.
Penelitian ini bertujuan mengkaji kebijakan pemulihan aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri dengan pendekatan deskriptif-kualitatif dan menggunakan metode studi kasus. Berdasarkan identifikasi dan interpretasi data dengan kerangka kebijakan kriminal Hoefnagels dan konseptualisasi negara sebagai korban merujuk pada Freiberg, ditemukan bahwa Indonesia perlu memperkuat kerjasama berupa mutual legal assistance (MLA) dan informasi transaksi keuangan dengan negara tujuan penggelapan aset untuk melacak, merampas dan membekukan aset koruptor.
“Pemerintah membutuhkan kerangka hukum baru berupa undang-undang perampasan aset yang didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) penegak hukum yang memadai untuk mempermudah proses pemulihan aset hasil korupsi di luar negeri. Pemerintah juga perlu mereformasi wajah birokrasi dan penegakan hukum nasional yang transparan, humanis, profesional dan responsif terhadap isu korupsi” jelas Idris.
Kemauan politik Indonesia untuk secara timbal-balik memberikan bantuan kepada negara lain dalam proses asset recovery sangat dianjurkan. Pemerintah pun perlu mereformasi Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai lembaga independen sembari memperkuat kapasitas SDM para anggota.
Pemerintah Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir masih menemui banyaknya hambatan dalam melakukan pemulihan aset (asset recovery) dari hasil kejahatan korupsi yang dilarikan dan ditempatkan para koruptor di luar negeri.
Idris juga menjelaskan, “data menunjukkan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan dalam rekening bank di luar negeri umumnya dilakukan melalui mekanisme pencucian uang, sehingga upaya untuk melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi makin sulit. Kendatipun banyak negara di dunia saling bekerjasama, dalam pelaksanaanya terbentur masalah-masalah seperti perbedaan sistem hukum, sistem perbankan dan finansial dari negara di mana aset berada. Belum lagi kalau ada perlawanan pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah. Paling pelik adalah jika menyangkut kedaulatan negara dalam hubungan antar negara dalam berbagai praktik pengadilan di luar negeri, yakni hak imunitas kedaulatan (sovereign immunity) di hadapan forum pengadilan asing.”
Walaupun sulit dan berlikunya proses international asset recovery korupsi, bukan berarti usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia tanpa hasil. Antara tahun 2005 dan 2012, para aparat penegak hukum Indonesia telah beberapa kali berhasil memulangkan aset-aset hasil korupsi, total tidak lebih dari Rp 1 triliun.
Nilai aset yang dirampas kembali oleh pemerintah Indonesia ini belum menjadi ukuran signifikansi keberhasilan, mengingat masih samarnya nilai aset yang tersebar di banyak negara. Sebuah data lainnya juga menunjukan bahwa masih ada aset yang belum berhasil dikembalikan. Maka dari itu, aset yang berhasil diselamatkan lebih kecil jumlahnya dibandingkan aset yang telah terlacak dan masih ada di luar negeri yang mencapai sekitar Rp 29 triliun.
Idris menyimpulkan dalam kalimat proposisi bahwa kasus asset recovery hasil kejahatan korupsi di Indonesia yang ditempatkan oleh pelaku di luar negeri telah mengakibatkan negara sebagai korban tersamar kejahatan korupsi. Terminologi “negara sebagai korban tersamar” kejahatan korupsi merupakan temuan konsep yang oleh peneliti diberi nama the state as invisible victim dalam konteks kasus asset recovery.
Berdasarkan uraian siklus kebijakan kriminal upaya Indonesia melakukan pemulihan aset korupsi di luar negeri, dapat diketahui bahwa proses siklus kebijakan kriminal telah dilakukan dalam penelitian ini. Dengan demikian, hasil dari analisis tersebut di atas dijadikan dasar strategi Indonesia dalam upaya pemulihan aset korupsi di luar negeri, yang didasarkan pada policy level, organizational level, dan operational level sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Setelah mendengar sanggahan atas pertanyaan dewan penguji, pimpinan sidang akhirnya memutuskan Muhammad Idris Froyoto Sihite dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar Doktor Kriminologi, sekaligus menjadi doktor Kriminologi ke-28.