Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia bekerja sama dengan Faculty of Arts and Social Sciences (FASS) Universiti Malaya, menyelenggarakan Persidangan Antarbangsa Kajian Malaysia-Indonesia (PAKMI) ke-15 tahun 2024 bertempat di FISIP UI dan FIB UI selama tiga hari, mulai 30 Oktober 2024 hingga 1 November 2024.
Konferensi PAKMI ini diselenggarakan sebagai wadah berhimpunnya para pakar dan pengkaji Indonesia dan Malaysia untuk mempererat hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara yang mempunyai ikatan sejarah dan adat yang sama. Sejumlah lebih dari 150 pengkaji Indonesia dan Malaysia menghadiri kegiatan ini.
Pada hari kedua, Kamis (31/10) diadakan Plennary Session 2 di Auditorium Gedung 1 FIB UI. Pada sesi ini menghadirkan pembicara Prof. Dr. Hanafi Hussin (Faculty of Arts and Social Sciences, Universiti Malaya), Dr. Azhar Ibrahim (Malay Studies, Faculty of Arts and Social Sciences, National University of Singapore) dan Endah Triastuti, Ph.D., (Department of Communication Science, Faculty of Social Sciences and Politics, Universitas Indonesia).
Prof. Hanafi menyampaikan gagasan dari hasil-hasil risetnya mengenai masyarakat Asia Tenggara tentang pentingnya riset yang dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Ia menekankan bahwa helix yang di dalam riset tidak hanya melibatkan akademisi dan komunitas yang dikaji, tetapi juga unsur pemerintah, industri dan lingkungan sosial menjadi kesatuan pemangku kepentingan yang akan merasakan manfaat dari hasil riset. Di Malaysia, semua riset di perguruan tinggi saat ini sudah dipersyaratkan melibatkan para pemangku kepentingan dalam pentahelix ataupun quintuple helix.
Sementara itu, Dr. Azhar mengargumentasikan “masih belum terangkatnya sastra Indonesia dan sastra Melayu di kancah global, para orientalis masih seolah-olah “setengah hati” untuk mengangkat karya sastra Indonesia dan Melayu lebih tinggi lagi.”
“Padahal, Kesastraan Nusantara memiliki kekuatan kemanusiaan dalam arti tidak hanya menampilkan estetika, tetapi juga kemaslahatan bagi komunitas yang lemah dan perlu dibela. Karya-karya sastra Indonesia seperti yang dihasilkan oleh Taufik Ismail, WS Rendra, dan Pramoedya Ananta Toer telah menunjukkan kuatnya sastra yang berfungsi bagi kemanusiaan,” ungkap Dr. Azhar.
Dr. Endah, menyampaikan hasil riset tentang kesenjangan digital di Indonesia dan Malaysia yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu, seperti kalangan difabel, kelompok umur tertentu, penganut agama atau kepercayaan tertentu, dan suku tertentu.
Hasil risetnya menunjukkan temuan yang berbeda dengan riset serupa yang dilakukan terhadap masyarakat global di utara, seperti di Amerika dan Utara. Di masyarakat global utara, individu menjadi pusat pengembangan pengetahuan atau informasi yang diperoleh saat ini dari perangkat media modern atau digital sehingga maju atau tertinggalnya individu dalam hal pemerolehan informasi berasal dari individu.
“Sementara Indonesia dan Malaysia mempunyai karakter yang sama, yaitu bukan individu, melainkan keguyuban komunitaslah yang mampu membangkitkan anggotanya untuk memperoleh informasi sehingga kesenjangan digital yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu seharusnya dapat diatasi oleh komunitas itu sendiri,” jelas Dr. Endah.
Ia menjelaskan bahwa keguyuban masyarakat ditengarai tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia, tetapi menjadi karakter masyarakat ASEAN, yang berbeda dari bangsa lain di dunia, sehingga menjadi modal sosial yang besar bagi masyarakat ASEAN untuk membangun ASEAN.