Depok, 8 Januari 2024 – Achmad Haris Sanjaya, sah menjadi doktor kriminologi ke-45 pada Senin (8/1) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI. Disertasi Achmad berjudul “Paradoks Kebijakan Diversi Anak Berkonflik Dengan Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Studi Pada Kasus Tawuran Antar Kelompok yang Melibatkan Anak di Jakarta).”
Selaku ketua sidang promosi doktor, Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes., Ph.D. selaku promotor, Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D., dan kopromotor, Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D. Serta para dewan penguji Prof. Dr. Albertus Wahyurudhanto, M.Si., Dr. Eva Achnjani Zulfa, S.H., M.H., Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A., dan Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si.
Salah satu bentuk kekerasan di Jakarta yang terus menggejala dewasa ini adalah kasus tawuran atau perkelahian massal antara kelompok masyarakat. Dalam Statistik Kriminal 2022 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2022 menyebutkan bahwa Provinsi DKI Jakarta menempati posisi teratas dalam jumlah kejadian tawuran. Hal ini memperlihatkan betapa serius tawuran di DKI Jakarta dan tentu mengundang keprihatinan semua pihak. Terlebih, tingginya kasus tawuran ini menunjukkan bahwa permasalahan tawuran tidak dapat diatasi oleh pemerintah, meski telah banyak melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku.
Penanganan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Indonesia masih menghadapi tantangan, banyak ABH berusia 12-18 tahun ditahan atau dipenjara seperti orang dewasa, padahal hal ini dapat berdampak negatif pada perkembangan mereka. Penahanan atau pemenjaraan terhadap anak dapat mengakibatkan stigmatisasi dan menghambat perkembangan mereka dalam pendidikan dan kesehatan.
ABH yang ditahan atau dipenjara sering mengalami perlakuan buruk, seperti dicampur dengan tahanan dewasa dan menjadi korban kekerasan.
Negara anggota PBB diimbau untuk mengambil langkah-langkah sesuai dengan Beijing Rules dan Riyadh Guidelines, yang mencakup memastikan bahwa penahanan anak adalah upaya terakhir dan dalam waktu sesingkat mungkin, dan mempromosikan sistem peradilan anak yang terpisah.
Dari paparan di atas maka, semangat yang diusung dalam peradilan pidana anak pada dasarnya berupaya menjuhkan anak dari penahanan dan pemenjaraan karena dampak buruknya bagi tumbuh kembang anak tersebut. Hal inilah melandasi kebijakan yang berlaku di Indonesia melalui Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang peradilan pidana anak, yakni UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Di dalam pasal 2 UU tahun 2012 ditegaskan bahwa SPPA dilaksanakan berdasarkan berbagai asas, di antaranya; asas kepentingan terbaik bagi anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; dan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.
Penelitian ini menganalisis secara kriminologis adanya paradoks diversi yang melibatkan anak dalam kasus tauran di Jakarta dengan menggunakan teori paradoks dan konsep-konsep kriminologi. Berdasarkan analisis pada data kualitatif deskriptif, temuan empiris mendapati bahwa kebijakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) bergantung konteks masalah. Sedangkan tawuran yang terjadi lebih sering dipicu oleh tindakan balas dendam antar-kelompok yang mengarah pada perilaku geng.
Penelitian juga menemukan paradoks dalam cara berpikir antara cara pandang formal dengan cara pandang kontekstual dalam memahami diversi pada anak dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA). Temuan cara pandang ini berujung pada temuan bahwa adanya paradoks diversi di tingkat implementasi (mikro), aturan hukum (meso), dan konsep (makro).
Melalui telaah teoritis penelitian akhirnya memunculkan konsep penamaan ‘antinomi diversi’, yaitu tentang dua pernyataan yang seolah divalidasi oleh nalar, namun pada akhirnya membuahkan kegagalan. Atas dasar temuan ini, penelitian menindaklanjutinya dengan melakukan analisis peramalan kebijakan SPPA dan analisis strengths, weaknesses, opportunities, dan threats.
Hasil analisis secara keseluruhan merekomendasikan perlunya stakeholders mencari solusi praktis secara berkala setiap tahun untuk mengatasi kasus tawuran anak di Jakarta yang mengarah kepada perilaku kelompok geng. Kemudian penting untuk pemerintah melakukan telaah ulang kebijakan yang memunculkan permasalahan paradoks diversi dalam penanganan ABH dalam SPPA di semua tingkatan.