Yuliyanto Budi Setiawan resmi meraih gelar doktoral (S3) di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Pengukuhan gelar ini dilakukan dalam sidang promosi doctoral yang digelar terbuka di Gedung Mochtar Riady pada Selasa (19/07).
Ia meraih gelar doktor usai mempertahankan disertasi dengan judul “Pelabelan Gender di Media (Studi Wacana Kritis Pelabelan Janda di Televisi)”. Bertindak sebagai promotor adalah Prof. Dr. Billy K. Sarwono, M.A, kopromotor I, Dr. Donna Asteria, M.Hum dan kopromotor II, Dr. Sunarto, M.Si. Sementara itu sebagai dewan penguji yaitu Prof. Dr. Ilya Revianti Sunarwinadi, M.Si, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc, Dr. Nina Mutmainnah, M.Si, Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si dan Endah Triastuti, M.A, Ph.D
Dalam disertasinya, Ia mengungkapkan media memberikan kontribusi dalam pemberian label janda sebagai karakter negatif. Hal ini tampak dari karakter janda yang dimunculkan dalam tayangan FTV di televisi.
“Pada tingkat elite media, pembuat cerita yang menghadirkan karakter janda tidak memiliki kesadaran gender. Pelabelan janda sebagai karakter negatif terus dilakukan karena adanya konsentrasi kepemilikan dan monopoli ” ujar Yuliyanto Budi Setiawan.
Studi in mengeksplorasi ideologi dominan yang melatarbelakangi penyebab pelabelan-pelabelan atas janda di media televisi (khususnya tayangan FTV ‘Kisah Nyata’ Indosiar), sekaligus mencari data tentang konsumsi teks serta praksis sosial yang terkait dengan pelabelan-pelabelan janda di media televisi.
Adapun hasil penelitian dalam studi ini yaitu, berdasarkan hasil temuan analisis wacana kritis di level mikro menunjukkan adanya dua klasifikasi besar pelabelan, yakni pertama, adanya label identitas yang melekat bahwa janda oleh media, selalu dilekatkan dengan karakter jahat atau negatif yang tentunya berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya dan kedua, perempuan adalah sosok yang selalu dalam posisi yang disalahkan.
Selanjutnya, produksi teks level meso menunjukkan bahwa koordinator FTV sama sekali tidak memiliki kesadaran gender dan menilai janda memang berperilaku ‘miring’ dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan hasil temuan praktik konsumsi teks di level meso, semua informan ternyata tetap menonton tayangan sarat label atas janda tersebut, bahkan ada yang menikmatinya. Sementara itu, untuk temuan di level makro menunjukkan kuatnya praktik patriarki dan kapitalisme dalam berbagai konteks kehidupan.
Menurut Yuliyanto ada dua kebaruan yang ditawarkan dalam studi ini, “yakni pertama, belum ada teori media yang memadai dan mampu menjawab fenomena komunikasi yang sedang peneliti kaji, sehingga peneliti menarik teori labeling Becker dari ranah sosiologi ke ranah komunikasi (media studies), karena teori ini mampu dan memadai dalam menjelaskan adanya pelabelan atas kaum minoritas (janda) di konten media massa. Hal ini didukung dengan studi-studi terdahulu yang biasa menggunakan pemikiran labeling untuk penelitian komunikasi. Kedua, Minority Labeling Theory sebagai perpaduan konsep mengenai pemikiran labeling dari Becker, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory.”
Yuliyanto memberikan rekomendasi praktis dan sosial. Secara praktis perlu dilakukan penyadaran gender melalui pelatihan-pelatihan gender secara kontinyu dalam institusi media televisi dan juga rumah produksi guna memberikan pemahaman gender yang memadai kepada semua pekerjanya, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan akan arti penting menciptakan tayangan media bertema janda yang positif, bermanfaat dan berdaya guna baik kehidupan bermasyarakat secara luas.
Lebih lanjut Yuliyanto mengatakan, dari segi sosial, berdasarkan level masalah dan temuan di level meso (produksi teks), maka para pelaku industri media diharuskan menciptakan tayangan yang berkeadilan gender, yakni tidak menjuluki janda secara negatif dalam teks media, melainkan harus menampilkan janda sebagai sosok yang mandiri secara finansial dan berperilaku baik, sehingga dapat memberikan tontonan yang sehat bagi sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan level masalah dan temuan di level meso (konsumsi teks), maka rekomendasi sosial yang dikemukakan adalah perlunya sosialisasi literasi media kepada konsumen media/masyarakat mengenai pelabelan terhadap janda di media. Literasi media tersebut perlu pula diterapkan ke anak-anak, “tujuannya, agar semakin dini melek media, sehingga semakin cakap melakukan seleksi memilih tayangan yang mencerdaskan serta memperbanyak diskusi di lingkup kemasyarakatan agar setiap individu memiliki literasi media terhadap tayangan-tayangan yang mengandung unsur labeling ke masyarakat minoritas,” ujar Yuliyanto.
Berdasarkan level masalah dan temuan di level makro, maka saran yang dikemukakan adalah perlunya kesadaran gender dan aturan sistemik yang mengatur peranan perempuan sebagai pihak yang memiliki kemampuan setara dalam pembangunan bangsa, salah satunya melalui penciptaan bahasa-bahasa yang berkeadilan gender.